Wikipedia

Hasil penelusuran

Senin, 18 Mei 2015

Artikel Dana (Kemurahan hati)

Artikel Dana (kemurahan hati)
Oleh : Asmawati

Pengantar
“Beruntung atau tidak beruntung tergantung pada kebaikan dan kejahatan seseorang"
      Kinerja perbuatan baik menghasilkan jasa kebaikan (puñña), suatu sifat yang memurnikan pikiran. Jika pikiran tidak diperiksa pikiran cenderung dikuasai kecenderungan jahat menyebabkan seseorang melakukan perbuatan buruk dan jadi bermasalah. Kebaikan memurnikan pikiran dari kecenderungan jahat akan keserakahan kebencian dan khayalan. Pikiran tamak mendorong orang pada nafsu, pengumpulan dan penimbunan; pikiran benci menyeretnya menuju ketidaksukaan dan kemarahan; dan pikiran berkhayal membuat seseorang menjadi terjerat dalam keserakahan dan kebencian, berpikir bahwa akar kejahatan ini benar dan berharga. Perbuatan jahat menimbulkan lebih banyak penderitaan dan mengurangi kesempatan untuk mengetahui dan mempraktikkan Dhamma.
  Kebaikan penting untuk menolong kita selama perjalanan hidup kita. Kebaikan berhubungan dengan apa yang baik dan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain, dan dapat meningkatkan kualitas pikiran. Sementara kekayaan material yang dikumpulkan seseorang dapat hilang oleh pencuri, banjir kebakaran, penyitaan dan lain-lain. Manfaat kebaikan akan mengikutinya dari  kehidupan ke kehidupan dan tidak akan hilang ataupun tertukar, meskipun bisa habis jika tidak ada lagi usaha untuk berbuat kebaikan lebih banyak lagi. Seseorang akan mengalami kebahagian di sini, sekarang ini, dan sesudahnya melalui perbuatan baiknya.
   Kebaikan adalah fasilitator sekaligus investasi yang hebat, kebaikan membuka pintu kesempatan dimana-mana. Seseorang yang baik akan sukses dalam usaha apapun yang ia lakukan jika ingin melakukan bisnis, ia akan bertemu dengan orang dan rekan yang tepat; jka ia ingin menjadi pelajar atau peserta didik, ia akan mudah memperoleh kesempatan mendapatkan beasiswa prestasi dan dukungan dari para pembimbinng akademik; jika ia ingin mencapai kemajuan dalam meditasi ia akan bertemu dengan guru meditasi yang piawai membimbingnya dan masih banyak lagi kesempatan yang akan diperoleh.
    Ada bebarapa ladang yang subur akan kebaikan yang menimbulkan hasil yang melimpah bagi pelaku perbuatan baik itu. Sama seperti tanah dapat menghasikan panen yang lebih baik (katakan tanah hitam lebih subur dibandingkan tanah berbatu), suatu perbuatan baik yang dilakukan terhadap orang tertentu dapat menghasilkan lebih banyak lagi kebaikan dari pada terhadap orang biasa. Ladang kebaikan yang subur ini termasuk sangha atau orang suci, ibu, ayah dan fakir miskin. Perbuatan baik yang dilakukan pada kelompok orang ini akan terwujud dalam banyak cara dan menjadi sumber hasil yang berlimpah.
    Sang Buddha mengajarkan para siswanya untuk melakukan perbuatan baik, agar memperoleh kehidupan bahagia dan damai serta mengembangkan pengetahuan dan pemahaman, perbuatan-perbuatan baik tersebut salah satunya adalah kemurahan hati (Dana). Perbuatan yang paling mudah untuk mengurangi tiga akar perbuatan jahat ini (khususnya Lobha). Pengertian berdana yang diajarkan oleh Sang Buddha Gotama adalah merupakan cara untuk menunjang menyembuhkan penyakit batin manusia yang disebut Lobha. Dalam beberapa ajaran beliau, dana selalu diletakkan pada urutan pertama, misalnya dalam Dasa Paramitha (Sepuluh Kebajikan ) dan di dalam Dasa Punna Kiriyavatthu (Sepuluh Jalan Perbuatan Baik).
   Perlu kita ketahui bahwa nilai serta manfaat suatu dana tidak hanya ditentukan oleh besar kecilnya dana itu saja tetapi juga ditentukan oleh kesungguhan hati (kehendak/ cetana) kita pada saat akan berdana (Pubba Cetana), sewaktu berdana (Munca Cetana) dan saat sesudah berdana (Apara cetana); serta factor-factor lainnya lagi. Jika ketiga tahapan tersebut misalnya kita lakukan dengan hati yang berbahagia maka akan semakin besar pula nilai dana tersebut dan sebaliknya bila kita lakukan dengan penyesalan, maka nilai dari dana itupun akan berkurang. Tetapi walaupun kita sudah tahu bahwa berdana itu adalah suatu kebajikan yang paling mudah untuk dilakukan, namun pada kenyataannya masih banyak orang khususnya umat Buddha yang tidak mau berdana. Jika mereka berdana, masih banyak yang berdana karenanya adanya pamrih tertentu atau karena terpaksa. Mereka masih juga berpikir dan menganggap bahwa mereka sendiri masih kekuranga harta benda, sehingga kalau berdana maka hartanya menjadi berkurang. Padahal seharusnya kita menyadari bahwa selama ini kita masih hidup sebagai manusia, biasanya kita tidak akan pernah puas akan sesuatu; sehingga kita juga bisa menyadari bahwa dengan berdana tidak akan menyebabkan harta kita menjadi berkurang, bahkan sebaliknya, dengan berdana kita berarti telah menambah kamma baik kita yang kelak akan berbuah kebahagiaan pada diri kita.
Dalam Dhammapada Sang Buddha mengajarkan;
            Jika seseorang berbuat baik,
            Ia harus melakukannya lagi dan lagi;
            Ia harus menemukan kesenangan didalamnya;
            Karena kebahagian adalah kumpulan dari kebaikan.
                                                (Dhammapada, 118).


            Jangan menganggap remeh kebaikan dengan berkata.
            “hal ini tidak akan berguna bagiku”
            Bahkan dengan jatuhnya tetes demi tetes
            Seguci air akan penuh.
            Seperti halnya orang bijaksana,
            Mengumpulkan sedikit demi sedikit
            Memenuhi dirinya dengan kebaikan.
                                    (Dhammapada, 122).
                                   
                       
 1.     Pengertian Dana
Dalam Pandangan masyarakat umum, dana diartikan sebagai pemberian atau pertolongan dengan memberikan materi (bersifat kebendaan) kepada orang lain yang memerlukan, sedangkan bantuan lainnya yang bukan berupa materi, belum dapat dikatakan sebagai dana, tetapi hanya dikatakan sebagai bantuan biasa saja. Dalam Agama Buddha, yang dimaksud dengan Dana adalah pemberian yang tulus ikhlas untuk menolong makhluk lain, artinya memberikan pertolongan tanpa pamrih baik berupa materi, tenaga, maupun pemberian maaf dan rasa aman. Dana dalam agama Buddha tidak dipaksakan,hanya dianjurkan dan termasuk salah satu dari sepuluh perbuatan baik (Dasa punna Kiriyavatthu) yang dapat dilaksanakan oleh umat Buddha.
Berdasarkan tata bahasa Pali istilah “Dana” dapat didefinisikan sebagai berikut:
1. Diyabeti Danam, yaitu sesuatu yang telah diberikan disebut Dana.
2. Duggati Dayati Rakkbati Danam, yaitu sesuatu yang membuat si pemberi memperoleh perlindungan, keselamatan, kebebasan dan penderitaan atau kesukaran disebut dana.

Kitab Visuddimaga, Buddhaghosa Thera telah memberikan definisi sebagai Danam Vuccati Avakbandbam yaitu sesuatu yang diberikan dengan niat disebut Dana. Dana biasa diterjemahkan sebagai pemberian sedekah. Pemberian sedekah mengingatkan kepada pemberian hadiah kepada orang-orang miskin atau kepada mereka yang berada dalam lingkungan yang tidak menguntungkan.
Berdana adalah perbuatan melepas sesuatu yang dimiliki dengan tulus ikhlas dan memberi kepada mereka yang membutuhkan bantuan demi suatu tujuan yang baik. Berdana tidak lain adalah murah hati yang terkandung dalam pengertian alobha (tidak serakah).

      Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Dana diartikan sebagai uang yang disediakan untuk kepentingan kesejahteraan, juga diartikan sebagai pemberian hadiah atau hadiah atau derma. Sedangkan dari sudut lain, berdana dapat juga diidentifikasikan dengan sifat pribadi kedermawanan (caga), yaitu memberikan apa yang dimiliki demi kepentingan orang lain. Sudut pandang ini menyoroti praktek berdana bukan sebagai tindakan perwujudan luar, di mana suatu obyek dipindahkan dari diri sendiri untuk diberikan kepada yang lain, namun merupakan kecenderungan dalam diri untuk memberi lewat tindakan nyata, yang memungkinkan adanya berbagai tindakan yang lebih menuntut pengorbanan diri. Praktik berdana dalam ajaran sang Buddha, memiliki tempat dan pengertian khusus yaitu sebagai pondasi dan benih perkembangan spiritual.

   Dana merupakan dasar dari segala perbuatan baik. Dana adalah langkah pertama dalam urutan cara-cara berbuat baik (kusula kamma) dan di dalam Punna Kriya Vatthu (sepuluh cara berbuat jasa). Secara garis besar, berdana adalah merelakan sebagian uang atau harta benda miliknya untuk diberikan dengan tanpa pamrih kepada mereka yang membutuhkannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perbuatan baik dari berdana ini merupakan perbuatan jasa/kebajikan yang paling dasar. Yang merupakan landasan bagi tumbuh berkembangnya kebajikan-kebajikan yang lebih tinggi, yakni sila (hidup bermoral), samadhi (memiliki konsentrasi) dan Panna (memiliki kebijaksanaan), hingga akhirnya mencapai kebebasan sejati (Nibbana).  


    2.      Dasar Melakukan Berdana

Agama Buddha sama sekali tidak ada doa-doa untuk mendatangkan rezeki, keberuntungan dan segalanya. Inilah salah satu ciri khas ajaran sang Buddha yang membedakannya dengan ajaran agama-agama lain yang menciptakan sikap pasif dalam mengharapkan pertolongan, bantuan atau sokongan dari sumber-sumber Adi Insani yang tidak pernah terbuktikan secara nyata. Agama Buddha mendidik penganutnya untuk menjadi orang-orang berjiwa mulia, yang siap menyalurkan bantuan kepada sesama bahkan kepada makhluk-makhluk yang lebih rendah tatarannya. Semua makhluk tanpa terkecuali dianjurkan untuk berbuat kebajikan dengan berdana. Dalam pandangan Buddhis, berdana bukanlah suatu kebajikan yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang kaya, mereka yang miskinpun dapat berdana.

“Dananca Dhammacari Yoca, Nata Kanca Sangaho, Anavajjani
Kammani Etammang Alamuttamam”. (Mangala sutta, 11).
Berdana dan hidup sesuai dengan Dhamma, menolong sanak keluarga, perbuatan tanpa cela. Itulah berkah utama.

Berdasarkan keterangan di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa berdana itu merupakan suatu perbuatan yang sangat dianjurkan, karena berdana merupakan berkah utama yang bisa dilakukan oleh siapapun di setiap waktu. Mempraktikkan kedermawanan, tidak banyak yang perlu dimiliki. Orang dapat memberi sesuai dengan sarana yang dimilikinya, sebab nilai suatu dana tidak diukur berdasar jumlah atau harga barang yang dipersembahkan. Dana yang diberikan dari penghasilan seseorang yang kecil dianggap amat berharga. Kesimpulannya yaitu bahwa sang Buddha sangat menghargai umatnya yang mencari nafkah dengan cara yang benar dan kemudian secara dermawan memberikannya kepada yang membutuhkan. Sekalipun memberikan dalam jumlah kecil, jika hatinya dipenuhi keyakinan, maka akan memperoleh kebahagiaan di kemudian hari. Anjuran berdana yang lain juga tertulis dalam kitab Dhammapada sebagai berikut:

“Jineka dariyah danena”. (Dhp, 223).
Atasilah noda keserakahan dan praktekkan Dana. (Dhp. 223).

Berdasarkan keterangan di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa berdana merupakan perbuatan yang sangat dianjurkan di dalam agama Buddha, sebagai ajaran yang paling dasar yang disampaikan oleh Sang Buddha.


3.      Penggolongan, Kualitas, dan Cara Berdana

a.    Penggolongan Dana
Secara garis besar dana dapat dipilah menjadi tiga jenis yaitu Amisa-dana, Dhamm dana dan Abhaya dana. Amisa-dana adalah pemberian dalam bentuk benda materi, Dhamma-dana adalah pemberian berupa pengetahuan Dhamma dan Abhya dana adalah dana dengan memaafkan.

· Amisa - dana
Amisa-dana merupakan pemberian yang paling umum yaitu berupa benda materi. Obyek materi tidak perlu memilik nilai yang besar untuk bisa menghasilkan hasil yang besar.
Menurut jenis obyek yang pantas untuk didanakan Amisa-dana dapat dibedakan dan dijelaskan di dalam kitab suci agama Buddha yaitu dalam Sutta Pitaka, Vinaya Pitaka dan Abhidhamma Pitaka.

Dana dalam kitab Sutta Pitaka, dibedakan menjadi 10 macam yaitu: makanan, minuman, jubah, kendaraan, bunga dupa, wangi-wangian, tikar, obat-obatan dan lampu untuk penerangan.

Dalam kitab Vinaya Pitaka menjelaskan bahwa dana terdiri dari 4 macam, yang dipersembahkan kepada para Bhikkhu/i dan Samanera/i, yang disebut Nisaya atau 4 macam kebutuhan pokok dalam kehidupan Viharawan. Keempat kebutuhan hidup tersebut adalah:
1. Civara          : jubah
2. Pindapatta   : makanan dan minuman
3. Senasana     : fasilitas tempat tinggal
4. Bhesajja      : obat-obatan dan peralatan medis/kesehatan.
Selain keempat dana ini maka selebihnya adalah merupakan kebutuhan tambahan atau pemberian tambahan kepada para Bhikkhu/i dan Samanera/i. Pelaksanaan persembahan dana kepada para Bhikkhu dan Samanera harus mengerti apa yang patut dan tidak patut dilakukan dan jugas harus mengetahui tradisi Viharawan yang
bersangkutan.

Dana dalam kitab Abhidhamma Pitaka digolongkaan menjadi 6 kelompok, menurut keenam dasar indera manusia yakni:
1. Dana dari persepsi penglihatan atau obyek yang terlihat, misalnya jika seseorang melihat sesuatu yang indah kemudian bermaksud untuk didanakan.
2. Dana dari persepsi pendengaran, misalnya ketika mendengar orang akan berdana atau latihan meditasi di suatu Vihara, maka bermaksud untuk melaksanakan.
3. Dana dari persepsi penciuman, misalnya jika seseorang menimbun sesuatu yang harum misalnya bunga-bunga atau wangi-wangian, kemudian merasa senang untuk dipersembahkan kepada rupang Buddha atau ke Vihara
4.  Dana dari persepsi rasa,
Dana ini berupa makanan yang dipersembahkan untuk dipersembahkan untuk para Bhikkhu/i dan Samanera/i dan juga kepada umat awam lainnya, dengan tujuan untuk berbuat baik atau jasa bagi dirinya dan memberi bantuan kepada orang lain.
5.  Dana dari persepsi sentuhan fisik atau obyek berwujud lainnya, misalnya pakaian, alat duduk atau tikar, kendaraan dan fasilitas lainnya dengan berniat untuk jasa bagi yang membutuhkan.
6.  Dana dari sentuhan batin atau hati, obyek pemikiran atau batin. Hal ini berarti sentuhan emosional kepada kelima kelompok tersebut di atas, yaitu merasa bahagia dan bermaksud berbuat jasa dengan benda-benda atau hal-hal tersebut.

Amisa–dana ini bisa dilakukan oleh masyarakat umum, begitu juga penerimanya. Wujud Amisa-dana kepada masyarakat berupa sumbangan ke berbagai organisasi sosial, sumbangan ke rumah sakit, perpustakan umum dan langsung kepada masyarakat yang membutuhkan. menfaat Amisa-dana adalah menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan materi.

· Dhamma – dana
Dhamma-dana merupakan pemberian berupa pengetahuan Dhamma. Dana ini memberikan hasil dan pahala yang lebih tinggi dibanding dengan Amisa-dana. Oleh Sang Buddha dikatakan dalam Dhmmapada. 354:
“Sabbadanam dhammadanam jinati”.(Dhp, 354).
Dari semua pemberian, pemberian Dhammalah yang tertinggi.

Dengan mengajarkan Dhamma kepada orang lain secara langsung maupun tidak langsung merupakan suatu upaya pelestarian Dhamma bagi kepentingan generasi penerus. Sehingga Dhamma-dana dapat bermanfaat baik dalam kehidupan sekarang maupun kehidupan mendatang, dan akan menghasilkan timbulnya kebijaksanaan dan pengetahuan. Bila tidak memenuhi syarat untuk mengajarkan Dhamma seseorang dapat berdana Dhamma dengan cara lain yaitu dapat mendanakan buku-buku Dhamma dan membiayai percetakan buku-buku tersebut, dapat membahas Dhamma secara gidak formal dan mendorong orang lain untuk menjalankan sila (peraturan moralitas).

· Abhaya Dana
Artinya berdana dengan memaafkan, yaitu berupa ampunan ( pemberian maaf ) dan tidak membenci. Juga dalam hal ini termasuk memberikan rasa aman kepada makhluk lain dari mara bahaya. Contoh : memaafkan teman yang bersalah kepada kita; membebaskan makhluk lain yang sedang menderita, misalnya menolong kucing yang sedang terjepit kayu dll.


b.      Kualitas dana
a.      Menurut Tingkatan manfaatnya
Menurut tingkatan manfaatnya, maka suatu dana dapat kita bedakan menjadi empat bagian,yaitu :
1. Pemberian yang besar dengan manfaat yang kecil (sedikit). Contohnya dalam hal ini yaitu orang-orang yang membunuh binatang untuk di korbankan kapada para dewa dengan disertai perayaan yang besar dan segala macam upacara persembahyangan. Hal ini memerlukan biaya yang besar tetapi pahala atau kebaikan untuk mereka yang melaksanakan sangatlah sedikit.
2. Pemberian yang kecil dengan manfaat yang kecil. Contohnya dalam hal ini yaitu seseorang yang kaya tetapi Ia sangat kikir sehingga tidak mau berdana dengan banyak (padahal dia mampu).
3. Pemberian yang kecil dengan manfaat yang besar. Contohnya dalam hal ini yaitu seorang yang miskin yang memberikan dananya dengan jumlah yang sedikit (karena batas kemampuannya memang hanya sampai di situ ) tetapi dia berdana dengan tulus hati dan tanpa pamrih.
4. Pemberian yang besar dengan manfaat yang juga besar. Contohnya yaitu seorang hartawan yang mendanakan sebagian hartanya guna kepentingan orang banyak, misalnya dengan mendirikan vihara, panti asuhan dan lain sebagainya yang semuanya itu dilakukan dengan hati yang tulus dan tanpa pamrih.

b.   Menurut kehendak (Cetana-nya)
Berdasarkan kehendak (cetana) berarti bahwa ada niat yang baik dalam berdana tersebut. Dalam hal ini berdana bukan sekedar untuk formalitas, pamer kekayaan, mencari nama, promosi diri atau dagangan, menjilat dll. Kehendak baik di sini mencakup tiga masa, yaitu :
1. Sebelum berdana
Sebelum berdana, seseorang hendaknya mengembangkan pikiran yang penuh ketulusan dan keceriaan, dengan berpikir, misalnya “Saya sedang menanam harta benda sebagai sebab kekayaan yang dapat di bawa“
2.  Sewaktu berdana
Sewaktu berdana seseorang hendaknya mengembangkan pikiran yang penuh keyakinan dengan berpikir, misalnya “ Saya sedang membuat manfaat suatu harta yang tidak begitu bernilai”.
3.      Setelah berdana
Setelah berdana seseorang hendaknya mengembangkan pikiran yang penuh keiklasan dan kepuasan, dengan berpikir misalnya “Saya telah melakukan kebajikan yang dipuji oleh para bijaksana.

c.  Menurut Mutu Barang Yang Didanakan
Berdasarkan mutu barang yang didanakan, maka suatu dana dapat dibedakan menjadi 3 bagian,sebagai berikut :
1. Berdana barang yang buruk, yang diri sendiri sudah tidak mau memakainya lagi. Banyak barang buruk yang sudah kita tidak perlukan lagi misalnya baju yang sudah tidak kita pakai lagi; ini dapat kita berikan kepada orang lain yang membutuhkannya. Tetapi dalam memberikan barang tersebut kita harus memiliki rasa sopan santun dan memiliki rasa perikemanusiaan. Artinya dalam memberikan barang tersebut kita harus dapat memperkirakan barang tersebut memang masih dapat digunakan (masih layak) oleh orang yang membutuhkan. Janganlah kita berdana barang yang sudah terlampau buruk, misalnya pakaian yang sudah compang camping sehingga sudah tidak layak dipakai lagi.

2. Berdana barang yang baik sebaik diri sendiri memakainya. Contohnya bila kita mempunyai buku lebih dari satu sedangkan teman kita tidak mempunyai, maka sebagai teman hendaknya memberikan salah satunya kepada teman tersebut. Dengan demikian kita telah berbuat baik dan kita akan merasa senang bila teman kita senang menerima buku itu.

3. Berdana barang yang lebih baik daripada yang kita pakai sendiri. Berdana barang yang lebih baik daripada yang kita pakai sendiri jarang dijumpai dalam kehidupan ini. Biasanya orang hanya mau berdana barang yang sudah buruk atau yang sama seperti yang dipakai dirinya sendiri; tetapi ada juga orang yang mau berdana barang yang lebih baik daripada yang dipakainya sendiri. Bila hal ini memang dilakukan dengan tulus,maka orang yang memiliki sikap demikian sangatlah terpuji. Ia dapat dikatakan memiliki jiwa sosial yang tinggi bila misalnya, Ia membangun sekolahan yang bagus dan baru kepada masyarakat yang membutuhkan, sedangkan rumahnya sendiri cukup sederhana.

d.  Menurut motif tujuannya.
Menurut motif tujuannya, maka suatu dana dapat terbagi sebagai berikut:
a. Hina Dana, yaitu Dana yang bersifat rendah, yaitu dengan mengharapkan kemasyuran, kekayaan dsb.
b. Majjhima Dana, yaitu Dana yang bersifat menengah misalnya dengan keinginan untuk dapat terlahirkan di alam surga.
c. Panita Dana, yaitu Dana yang bersifat luhur, dengan tujuan untuk meraih pembebasan sejati.

e.      Menurut Kemurniaan dari Pemberi dan Penerima Dana.
Didalam Dakkhina vibhanga Sutta, Sang Buddha menyebutkan bahwa nilai suatu dana tergantung juga kepada kelakuan dari orang yang menerima dana maupun yang memberi dana.
1.      Kemurniaan Pemberi bukan kemurniaan dari Penerima
Artinya yang memberi dana mempunyai kelakuan yang baik bermoral sedangkan yang menerima tidak demikian.
2.      Kemurnian Penerima bukan pemberi.
Dalam hal ini Penerima dana adalah orang yang bermoral sedangkan pemberinya tidak demikian.
3.      Tidak Murni dari pemberi dan Penerima
Artinya baik pemberi dan penerimanya tidak bermoral.
4.      Yang Murni dari Pemberi dan Penerima
Baik yang memberi dana dan yang menerimanya bermoral baik semuanya.



f.        Menurut yang patut menerima dana
Dalam Agama Buddha, Dana patut diberikan kepada siap saja yang memerlukan, namun selain hal tersebut , dikenal pula tentang adanya lapangan yang subur untuk menanam jasa, artinya bila yang kita berikan dan merupakan lapangan yang subur untuk menanam jasa, maka dana tersebut dapat memberikan hasil yang besar bagi yang berdana.
Didalam Dakkhina Vibhanga Sutta, Majjhima Nikaya, dikisahkan bahwa Maha Pajapati Gotami berniat untuk mempersembahkan sepasang jubah baru yang dibuatnya sendiri kepada sang Buddha Gotama. Tetapi sang Buddha menganjurkan agar persembahan ini dialihkan kepada Sangha secara umum. Ananda Thera karena tidak tahu , berusaha membujuk agar mau menerimanya, dengan memperingatkan jasa Mahapajapati Gotami yang pernah menyusui serta merwat beliau semasa kecil. Menaggapi hal ini, sang Buddha Gotama kemudian menjelaskan bahwa ada 14 macam persembahan yang ditujukan kepada Pribadi tertentu (Patipuggalika Dakkhina),yaitu :
1. Samma-Sambuddha
2. Pacceka-Buddha
3.  Arahat (Arahatta Phala)
4. Mereka yang berpraktek untuk meraih kearahatan ( Arahatta Magga)
5.  Anagami (Anagami Phala)
6. Mereka yang berpraktek untuk meraih keanagamian ( Anagami Magga)
7.  Sakadagami ( Sakadagami Phala )
8. Mereka yang berpraktek untuk meraih kesakadagamian (Sakadagami Magga)
9.   Sotapanna (Sottapati Phala)
10. Mereka yang berpraktek untuk meraih kesotappanaan   (Sottapati Magga )
11. Orang Non Buddhis yang telah melenyapkan nafsunya ( Orang yg memiliki Jhana)
12.  Orang biasa ( awam ) yang bermoral (yang mempunyai kesilaan)
13. Orang biasa ( awam )yang tidak bermoral (yang jelek   kesilaannya)
14.  Binatang/hewan.
Dengan berdana kepada binatang / hewan, seseorang dapat mengharapkan pahala sebanyak 100 kali. Dengan berdana kepada orang awam yang jelek kesusilaanya Pahalanya sebanyak 1000 kali. Dengan berdana kepada awam yang mempunyai kesilaan, pahalanya sebanyak 100.000 kali. Dengan berdana kepada orang non buddhis yang telah melenyapkan nafsunya, pahalanya sebanyak 10.000.000 kali. Dengan berdana kepada mereka yang berpraktek untuk meraih kesotapannaan. Pahala yang tak terhitung, tak terhingga. Apalagi jika dana tersebut dipersembahkan kepada mereka yang tingkatannya lebih luhur, pahalanya tidak terbayangkan lagi. Dari orang yang menerima dana, maka tempat yang merupakan lapangan jasa yang tiada taranya dialam semesta ini adalah Sangha. Buddha Gotama selanjutnya menjelaskan bahwa ada 7 macam sangha yang bisa kita berikan dana persembahan ( Sangha dana ) yaitu :
a. Sangha Bhikkhu dan sangha Bhikkhuni saat Sang Buddha ( Samma sambuddha ) sebagai pimpinan sangha.
b. Sangha Bhikkhu dan sangha Bhikkhuni sesudah Sang Buddha (Samma-sambuddha) sebagai pimpinan sangha.
c.  Sangha Bhikkhu saja
d.  Sangha Bhikkhuni saja
e. Sangha yang terdiri dari para bhikkhu dan bhikkuni dalam jumlah terbatas (sejumlah bhikkhu dan bhikkhuni dari Sangha).
f.  Sangha yang terdiri dari para bhikkhu dalam jumlah terbatas (Beberapa bhikkhu yang disediakan oleh sangha)
g. Sangha yang terdiri dari para bhikkuni dalam jumlah terbatas (Beberapabhikkhuni yang disediakan oleh Sangha).


c.       Cara Berdana

Memberi benda-benda yang berguna dan menyenangkan merupakan kedermawanan, tetapi jika hanya memperhatikan tindakan-tindakan keluar saja dan tidak mengetahui apakah kedermawanan itu tulus, maka seseorang itu belum dikatakan bedana dengan benar.
Berdana yang benar dapat dilakukan dengan cara:
1.  Persembahan dilakukan dengan Sakkacca-garava (penuh hormat); yaitu memberikan dana dengan bertekad akan mendapat satu pahala tambahan yakni dihormati baik oleh umat awam maupun oleh Bhikkhu.
2.  Berdana dengan Saddha-dana, yaitu berkeyakinan bahwa berkat perbuatan baiknya (kusala) ia akan memperoleh keselamatan, kesejahteraan batin maupun lahir, kelimpahan materi (kekayaan) dan kebahagiaan dalam kehidupan mendatang, selanjutnya akan menuju pencapaian magga, phala dan nibbana.
3. Berdana sesuai dengan waktunya (kala-dana), yaitu mempersembahkan apa saja yang dibutuhkan pada waktu yang sesuai, misalnya mempersembahkan jubah pada awal wassa memberikan makanan pada waktu yang sesuai setiap hari dan memberikan minuman pada sore hari. Waktu dalam Buddha yaitu hari khusus yang diselenggarakan setelah wassa terakhir mempersembahkan jubah dan keperluan hidup lainnya bagi para Bhikkhu disebut Khatina. Adapun Khatina dilaksanakan setiap tahun sekali antara pertengahan Oktober dan pertengahan Nopember.
4.  Berdana dengan tanpa kekikiran, tanpa keserakahan dan tanpa kemelekatan (anuggahita-dana) yaitu seseorang memberikan dana kepada orang lain dengan ikhlas dan tulus.
5.   Mempersembahkan dan tanpa menistakan orang lain (anupahacca-dana) yaitu berdana dengan tidak melontarkan ucapan yang mencela orang lain karena tidak berdana, dan menjaga agar orang yang diberi tidak merasa dihina.

Demikianlah lima cara dalam berdana. Selain hal itu ada tiga faktor yang harus diperhatikan dalam praktik berdana yaitu:
a. Pemberi
Pemberi dalam hal ini siapa saja berhak dan mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi pemberi, tidak harus berstatus sosila tau kaya yang berhak berdana, dan mereka berstatus sebagai orang tua, tetapi setiap orang yang memiliki kemampuan dan pengertian tentang berdana, dapat dan berhak untuk memberi.
Hal yang perlu diperhatikan oleh pemberi dana dalam melakukan dana agar memperoleh hasil dan manfaat yang maksimal adalah niat. Niat yang harus diperhatikan oleh si pemberi yaitu sebelum, selama, dan setelah tindakan kedermawanan itulah yang terpenting dari faktor-faktor yang terlibat dalam praktik berdana, yakni:
1.  Bhuppa Cetana (Niat Sebelum Berbuat Jasa)
Niat berarti bahwa sebelum berbuat jasa, seseorang harus memiliki niat, kehendak, dan merasa bahagia atas jasa yang akan dilakukannya, yakni dengan mempersiapkan sesuatu yang akan didanakan terlebih dahulu.

2.   Muchana cetana (Niat pada saat berbuat jasa)
   Setelah dana disiapkan maka siaplah memberi dana. Sang Buddha mengajarkan bahwa di dalam praktek berdana seperti halnya perilaku lewat tubuh dan ucapan, niat yang mengiringi perbuatan itulah yang menentukan kualitas moralnya. Jika seseorang berdana Bhikkhu, maka sebaiknya mengatakan niat dan menyerahkan dana tersebut dengan sikap penuh hormat.
3.  Aparapa cetana (Niat setelah berbuat jasa)
Aparapa cetana adalah perasaan senang setelah berbuat jasa yaitu selalu bahagia bilamana mengingat perbuatan baik yang telah dilakukan.21 Selain itu yang perlu diperhatikan oleh pemberi dana adalah dana harus diberikan sedemikian, sehingga yang diberi tidak merasa dihina, dikecilkan atau tersinggung. Dana harus diberikan dengan pertimbangan yang sesuai dan dengan rasa hormat serta diberikan dengan tangannya sendiri.

b.  Obyek yang didanakan
Faktor kedua ini harus ada yaitu sesuatu yang didanakan, dalam hal ini apa saja yang orang miliki sebatas kemampuan yang ada, bisa berupa materi maupun imateri, seperti:
1.  Barang atau benda
Perlu diperhatikan di sini, bahwa yang akan didanakan yaitu barang yang diperoleh secara halal dan hendaknya yang layak atau dapat digunakan dan yang dibutuhkan si penerima. Contoh dana barang adalah; makanan,minuman, obat-obatan, pakaian, peralatan Vihara, tempat tinggal dan sebagainya.
2.  Uang
Uang juga termasuk dana materi (Amisa-dana), uang biasanya merupakan pilihan yang paling mudah untuk dijadikan dana, dan yang paling umum dilakukan, karena uang merupakan alat penukar yang bersifat fleksibel.

3.  Tenaga
Tenaga termasuk dana bukan materi. Dana berupa tenaga ini biasanya lebih dibutuhkan. Misalnya, dalam menyelesaikan suatu pekerjaan sosial, seperti kerja bhakti, menerbitkan buku-buku dan majalah-majalah dan lain sebagainya.
4.  Waktu
Walaupun orang mempunyai jumlah waktu yang sama, tetapi waktu sering dijadikan alasan untuk menghindar dan menolak untuk memberikan bantun.
Maksud berdana dengan waktu di sini adalah meluangkan waktu untuk membantu pekerjaan sosial, pekerjaanpekerjaan di dalam rumah tangga, kerabat dekat, serta sahabat yang punya hajat dengan hati yang gembira dan ikhlas.
5.  Pikiran
Dana berupa pikiran ini digolongkan ke dalam Dhammadana yaitu pemberian berupa pengetahuan Dhamma yang dimiliki denga cara memberikan khutbah Dhamma, mengajar, menulis naskah Dhamma, memberi bimbingan, bantuan, tuntunan, petunjuk, nasehat serta perhatian dan kasih sayang.

c.  Penerima dana
Faktor ketiga yang harus ada dalam suatu proses berdana adalah adanya (obyek) yang menerima dana tersebut. Dalam hal ini siapapun bisa menjadi penerima, tidak khusus golongan tertentu saja. Ajaran Buddha menganggap bahwa orang memiliki kewajiban moral untuk memberikan bantuan kepada semua jenis manusia. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, berdana hendaknya ditujukaan kepada sasaran atau obyek yang tepat yaitu:
1.  Mereka yang membutuhkan dana atau bantuan, misalnya yayasan-yayasan sosial, Vihara-Vihara, Panti Asuhan dan lain sebagainya.
2. Mereka yang berjasa atau yang dihormati, seperti orang tua, kakak, guru, pembimbing, pemerintah dan lain sebagainya.
3. Mereka yang ada di jalan kesucian, seperti para Bhikkhu dan Samanera. Seorang Bhikkhu tidak dapat mengambil dana bila dana tersebut tudak dipersembahkan. Para Bhikkhu juga tidak boleh menimbun makanan dan memasak. Oleh karena itu, mengetahui yang mesti dilakukan dalam menyerahkan dana kepada Bhikkhu adalah penting bagi umat Buddha.

Secara umum, berdana kepada obyek yang memiliki latihan kemoralan (sila), akan lebih baik daripada berdana kepada mereka yang tidak memiliki sila. Penjelasan dari faktor-faktor tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam berdana itu seseorang harus memperhatikan tiga persyaratan yakni; kesempurnaan dalam kehendak (niat), kesempurnaan dalam pribadi, dan kesempurnaan dalam materi, agar persembahan dana itu memberikan pahala yang besar.

4.    Manfaaf Pemahaman dan Implementasi Dana

a.   Manfaat Dana
Berdana memiliki nilai yang luar biasa pentingnya dalam skema Buddhis, untuk pemurnian mental, karena berdana merupakan senjata untuk melawan keserakahan (lobha). Banyak manfaat dari berdana antara lain:
1.  Berdana meningkatkan persatuan sosial dan solidaritas
Seorang pemberi dana, memberikan kepada orang lain, kehidupan, keelokan kebahagiaan kekuatan dan kepandaian.masyarakat dipersatukan oleh perhatian dan kasih sayang satu sama lain saat kedermawanan dilakukan dengan keterlibatan pribadi yang hangat sehingga tidak membedakan golongan kaya atau miskin.
2.  Berdana merupakan sarana terbaik untuk menjembatani kesenjangan psikologis antara yang mampu dan tidak mampu.
 Kebencian akan menjadi hilang, jika orang-orang sudah mantap dalam kedermawanan. Orang yang memiliki hati yang dermawan dicintai oleh orang lain dan banyak orang yang menghormatinya. Pemberian itu dapat membantu membebaskan penerima dari kecemasan dan tekanan dari kebutuhan yang mendesak. Orang mungkin tidak mampu memberikan suatu hadiah yang melimpah, tetapi dia selalu dapat membuat siu penerima mersa diperhatikan dengan berdananya itu.
3.   Dana dapat memupuk timbunan kebajikan bagi pendana.
Bila dana diserahkan pada orang atau makhluk lain yang membutuhkan bukan hanya penerima yang mendapatkan manfaat, tetapi bagi pemberi akan mendapatkan kebajikan dari perbuatannya itu. Sang Buddha mengajarkan bahwa orang yang memberikan kebahagiaan, maka kebahagiaan akan berbalik padanya.  Berdana juga bisa mengurangi ketamakan, keserakahan serta mengurangi keinginan yang berlebihan.
4.  Tindakan berdana dapat memperkuat usaha seseorang dalam mencapai Nibbana Mengembangkan dana parami dan mempraktekkan kedermawanan dapat membangun gudang jasa, sedaniat yang terlibat dalam tindakan berdana akan membantu orang menghapus kekotoran mental yang berakar pada keegoisan, sehingga hasilnya akan berpuncak pada pencapaian pencerahan spiritual.
5.  Berdana dengan keyakinan dapat menghasilkan tercapainya kekayaan dan keelokan. Memberikan dana bersama dengan keinginan murni untuk membantu orang lain dan pada saat yang sesuai, orang tidak hanya memperoleh kekayaan yang besar, tetapi juga terpenuhi kebutuhan pada waktunya.

Dalam Manapadayi Sutta, Sang Buddha bersabda :
“mereka yang berdana
Sesuatu yang disenangi, niscaya akan memperoleh sesuatu yang disenangi
Sesuatu yang terunggul, niscaya akan memperoleh sesuatu yang terunggul
Sesuatu yang terbaik, niscaya akan memperoleh sesuatu yang terbaik
Sesuatu yang mulia, niscaya akan memperoleh sesuatu yang mulia”.


b.    Pemahaman dan Implementasi Dana

Kehidupan manusia pada dasarnya tidak lepas dari kesempatan untuk berbuat kebajikan. Berbagi kebajikan adalah tradisi agama Buddha.  Sang Buddha mengajarkan pada umatnya, untuk memperbanyak perbuatan-perbuatan baik dan bermoral, misalnya dengan berdana. Berdana artinya bukan hanya mengunjungi Vihara-Vihara lalu berdana makanan kepada para Bhikkhu atau Samanera, tetapi juga dengan cara berdana yang lainnya, seperti menggunakan harta untuk menolong orang lain yang sedang menderita atau yang membutuhkan. Jika tidak memiliki harta dapat menolong orang lain dengan bantuan tenaga, apabila memiliki pengetahuan Dhamma, dapat membagi pengetahuan yang dimiliki kepada orang lain.
Jadi banyak hal baik yang dapat dilakukan sehubungan dengan tindakan berdana.  Seperti dalam agama Islam berdana atau memberi derma dalam agama Buddha tidak berarti hanya sebatas menolong orang miskin. Berdana sebagai wujud kemurahan hati merupakan praktik untuk mencampakkan keserakahan, dan keakuan, sekaligus mengembangkan cinta kasih. Memberi sumbangan bukan diartikan membagi kelebihan, tetapi melepaskan pemilikan pribadi yang membelenggu sang aku. Buddha dan para Bhikkhu membuka ladang menanamkan jasa. Kebanyakan umat Buddha hanyalah mengikuti tradisi Buddha yang diturunkan dari keluarga, masyarakat dan kebudayaan setempat. Pelaksanaan dana ini, biasanya umat mengunjungi Vihara-Vihara dengan memberi persembahan pada altar sang Buddha dan memberi makanan pada para Bhikkhu atau Samanera di Vihara. Sehingga berdana sering dipahami hanya diperuntukkan bagi kelangsungan kehidupan Vihara dan sebagai upaya pengentasan kemiskinan atau menambah kekayaan dalam masyarakat karena sering kali berdana dinganggap sebagai cara untuk melipat gandakan kekayaan atau harta.
Pada dasarnya berdana memang banyak macam dan caranya, selain tradisi berdana di Vihara-Vihara, umat Buddha juga ada yang mengadakan bhakti sosial untuk menolong sesama.
Hal ini terbukti dengan adanya organisasi-organisasi buddhis yang bergerak dibidang sosial, yang dalam pelaksanaan kegiatannya sering mengadakan kerjasama dengan pemerintah, masyarakat dan Vihara setempat. Contoh kegiatannya seperti halnya dkegiatan donor darah, bhakti sosial bagi sembako, penerbitan buku-buku Dhamma dan masih banyak lagi kegiatan yang bersifat sosial. Mencetak buku Dhamma juga merupakan pelaksanaan Dharma-dana, selain banyak buku Buddha yang telah diterbitkan dengan dananya dari sumbangan umat, dengan adanya perpustakaan di Vihara-Vihara maupun di kampus-kampus yang terbuka untuk umum, umat memberikan kesempatan dan penjelasan tentang ajaran agama Buddha kepada semua orang yang ingin mempelajari atau mengkajinya.
Umat Buddha juga menggunakan moment berdana, sperti halnya dana paramitha pada saat Puja Bhakti ataupun pada saat perayaan hari-hari besar agama Buddha. Walaupun kesadaran umat Buddha dalam berdana makin berkembang dan meningkat, namun di pihak lain masih banyak pula umat yang belum tumbuh kesadarannya dalam berdana. Hal ini disebabkan oleh kurang dan belum pahamnya mereka tentang makna, manfaat, maupun cara-cara yang benar dalam berdana. Selain itu masih adanya hambatan yang datang dari masyarakat yang dalam upaya menumbuhkan kesadaran untuk berdana.









-Daftar Pustaka:

Mahathera Narada. Sang Buddha dan Ajaran-ajarannya, vol.  I. Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama. 1998.
Wijaya Mukti, Krisnanda. 2006. Wacana Buddha Dhamma. Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan.
Mutkumarana,  N. 2010. Panduan untuk Belajar Buddhisme. Jakarta: Yayasan Prasadha Jinarakkhita Buddhist Institute.
Tim Penyusun. 2005. Dhammapada, Sabda-sabda Buddha Gotama. Jakarta: Dewi Kayana Abadi.
Tim Penyusun Sekretariat Jendral Sekber PMVBI. 2011.Pelajaran Agama Buddha untuk Remaja. Jakarta: Sekber PMVBI.
Tim Penyusun. 2014. Panduan Puja Bhakti dan Berbagai Upacara. Jakarta: Vihara Ekayana Arama-Indonesia Buddhist Center (bekerjasama dengan Yayasan Karaniya).
Tim Penyusun.2012.  Buku Pelajaran Agama Buddha Ehipassiko Kelas 1 SMP. Jakarta: Ehipassiko Foundation. 



Rabu, 06 Mei 2015

artikel tentang Keyakinan (saddha)

                                           KEYAKINAN (SADDHA)


        A.      Esensi Keyakinan

Keberadaan manusia, pengalaman dalam perjalanan hidupnya ditengah pergerakan alam semesta ini merupakan misteri yang mengusik keingintahuan dan membentuk segala harapan manusia. Dengan akalnya ia melahirkan ilmu. Tetapi akal tidak selalu berhasil menyikapi semua rahasia. Ketika manusia sampai pada batas kemampuan rasionalnya apalagi saat menghadapi penderitaan, kesulitan dan ketakutan misalnya ia terbuka untuk hal-hal yang bersifat suprasional.
         Malionoski mengamati beberapa suku primitif dikepulauan pasifik melakukan upacara religius hanya jika akan menangkap ikan didaerah perairan dalam. Upacara semacam itu tidak ada ketika cuaca sangat baik dan mereka cukup mencari ikan didekat pantai. Bila mesti berlayar jauh atau cuaca buruk mereka membutuhkan sesuatu yang lain dari ilmu atau  keterampilan yang diperolehnya melalui proses belajar dan pengalaman. Yang lain itu adalah “agama”. Maka manusia membutuhkan dua hal, yaitu akan dan imam[1]. Bagi orang-orang seperti mereka, apa yang dipercaya sebagai iman tidaklah harus masuk akal.
       Berbagai bentuk kepercayaan atau agama agaknya telah ada dan sama tuanya dengan umur kemanusiaan. Pada mulanya kekuatan alam diidentifikasikan secara antropomorfik seperti manusia yang mempunyai perasaan keinginan dan sebagainya. Apa yang dipikirkan sebagai makhliuk-makhluk itu kemudian dipandang mempunyai sifat-sifat ilahi, misterisu, berkuasa dan menakutkan. Hasilnya adalah munculnya pemujaan dewa-dewa dan kepada makhluk-makhluk itu manusia menggantungkan kehidupannya. Setiap orang bergantung kepada kebutuhan dan keinginannya, memilih satu diantara dewa-dewa itu untuk dipuja yang kemudian cenderung memandangnya sebagai yang tertinggi diantara para dewa. Konsepsi dewa ini berkembang kedua arah, yaitu monoteisme (dalam bentuk seperti faruna dan kemudian prajapati dan brahma), dan apa yang disebut monisme (yang berpuncak dalam konsepsi brahma-atma seperti yang tercermin dalam upanisa)[2]..
     Nilai-nilai keagamaan yang pernah dihayati manusia senantiasa memiliki dasar-dasar yang mengandung persamaan-persamaaan elemen, yaitu perasaan takut, khawatir, cinta dan percaya kepada yang maha gaib. Dan  manusia dianggap memiliki pitrah, sifat asal atau bakat untuk baragama[3]. Bagaimana menghadapi perasaan takut ini juga mendapat perhatian dari Buddha, sebagaimana yang disabdakan-Nya: “jika engkau berlindung kepada Buddha, Dharma dan Sangha, perasaan takut, khawatir, cemas, tidak akan muncul”. (S. I 220).
    Namun Buddha mengajarkan agama yang bebas dari otoritas adiskodrati, dan menolak ketergantungan manusia pada kekuatan diluar dirinya sendiri. Keyakinan seharusnya timbul dan berkembang bukan karena takut, tetapi karena memiliki pengertian yang benar. Agama Buddha tidak mengenal dikotomi antara akal dan iman. Iman yang bertentangan dengan akal sehat tak ada bedanya dari tahayul.

1.       Iman Rasional
           Keyakinan dinamakan saddha, adalah iman atau kepercayaan yang berdasarkan kebijaksanaan. Apa yang diajarkan oleh Buddha sebagai kebenaran mutlak, bukan sesuatu yang masih diragukan atau samar-samar. Tetapi agama Buddha tidak dimulai dengan iman yang buta atau tanpa dasar (amulika-saddha). Setelah penyelidikan awal orang dapat mengembangkan suatu hipotesis dan mengujinya melalui pengalaman pribadi. Iman seperti itu yang berakhir dengan pengukuhan atau kepastian disebut iman rasional (akaravati-saddha).  Tentu saja iman rasional adalah iman yang dewasa, tidak kekanak-kanakan.
Seseorang yang kuat dalam keyakinan tetapi lemah dalam kebijaksanaan akan memiliki keyakinan yang panatik dan tanpa dasar. Seseorang yang kuat dalam kebijaksanaan tetapi lemah dalam keyakinan akan mengetahui bahwa ia bersalah jika berbuat kejahatan, tetapi sulit untuk menyembuhkannya bagaikan seseorang yang penyakitnya disebabkan oleh si obat sendiri. Bila keduanya seimbang, seseorang akan memiliki keyakinan hanya bila ada dasarnya (vism 129).
Menurut Asanga (abad ke-4) saddha itu mengandung unsur, yakni: (1) keyakinan yang kuat akan sesuatu hal ; (2) kegembiraan yang mendalam terhadap sifat-sifat yang baik ; (3) harapan untuk memperoleh sesuatu dikemudian hari. Keyakinan yang kuat bukan berarti sebatas percaya seperti yang lazim dikenal oleh kebanyakan orang. Keyakinan disini menekankan aspek melihat, mengetahui dan memahami. Persoalan percaya akan timbul apabila kita tidak dapat melihat segala sesuatu dengan jelas. Begitu kita dapat melihat sendiri dengan jelas pada saat itu pula tidak adalagi persoalan percaya atau tidak [4]Dalam ajaran yang bersifat ehipassiko  yang selalu kita temukan adalah melihat atau membuktikan, sehingga keyakinan memiliki kepastian bukan percaya kepada sesuatu yang belum jelas kebenarannya.
Kegembiraan terhadap sifat-sifat yang baik akan ditemukan pada orang yang memiliki pengertian dan kebijaksanaan. Tidak mungkin orang percaya karena takut dapat merasakannya. Dan suatu pengharapan tidak pernah keluar dari sikap moral manusia. “siapa orang memiliki harapan? Dia yang bermoral dan berwatak baik, belajar bahwa demikianlah seharusnya cara hidup seorang siswa, yang mematahkan kecenderungan buruk, mencapai kesempurnaan lewat jalan kebijaksanaan dan pemusatan pikiran bersih dari dorongan yang keliru. Setelah ia sendiri memahami dan menyadari akan tujuan yang lebih luhur dari hidup ini, lalu berfikir untuk melaksanakannya” (Pug/ Des. III, 1).
Sariputta memberikan kesaksiaan bagaimana seseorang dapat memiliki keyakinan yang sempurna kepada Tathagata dan tidak meragukan ajarannya. Keyakinan diuji dengan mengendalikan indera. Dengan keyakinan ini, semangat, kesadaran, konsentrasi dan kebijaksanaan berkembang terus menerus. “sebelumnya aku hanya mendengar hal-hal ini, sekarang aku hidup dengan mengalaminya sendiri. Kini dengan pengetahuan yang dalam aku menembusnya dan membuktikannya dengan jelas”. (S. V, 226).
Dengan memiliki keyakinan kepada Buddha, ada yang berhasil mencapai tujuan, ada yang mendekati tujuan, namun tidak sedikit pula yang tidak berubah nasibnya. Ganaka-moggallana bertanya kalau ada nirwana, ada jalan untuk mencapainya, ada Buddha sebagai gurunya kenapa tidak semua orang berhasil mencapai nirwana? Buddha membalas bartanya, apakah brahmana itu tahu jalan ke Rajagaha, sang brahmana tahu, tentu karena sering pergi ke kota itu. Kalau orang-orang bertanya tentang jalan ke Rajagaha, ia bisa memberi petunjuk dengan benar. Lalu pertanyaan Buddha ada kota rajagaha, ada jalan ke kota itu, ada yang memberi petunjuk, tetapi kenapa tidak semua orang yang mendapat petunjuk itu tiba di Rajagaha? Jawab Ganaka-Moggallana, ia hanya menunjukkan jalan, dan hasilnya jelas tergantung pada orang yang mendapat petunjuk (M. III 4-6.) orang boleh percaya tetapi jika ia tidak menempuh jalan sendiri tidak akan sampai ke tempat tujuan. Dan orang yang jalan menyimpang dari petunjuk, tentu akan tersesat jalan.
Ketika brahmana Pingiyanin di tanya mengenai keyakinannya terhadap Buddha, antara lain ia membandingkan Buddha dengan seorang dokter. “seperti seorang dokter yang pandai dalam waktu singkat menyembuhkan penyakit, melenyapkan penderitaan seorang pasien, manakala seseorang memahami dharma yang diajarka Buddha Gotama apakah itu melalui sabda, khotbah, tanya jawab, atau mukjizat, maka lenyaplah kesedihan, keluh kesah kesengsaraan, ketidaksenagan dan keputusasaannya” (A.III, 238) boleh saja orang percaya bahwa dokter itu benar ahli, obatnya manjur, tetapi hanya percaya saja jelas tidak bermanfaat. Yang menjadi persoalan adalah apakah pasien mau menaati petunjuk dokternya dan menggunakan obatnya dengan benar. Seorang pasien boleh jadi tidak perlu mengetahui siapa dokternya yang penting ia mendapat obat yang tepat dan sembuh. Seperti halnya Pukkusati yang mendapat manfaat dari ajaran Buddha sebelum ia mengenal Buddha (M. III, 238).
Setiap orang memiliki kebebasan untuk mempertimbangkan dan menentukan keyakinannya sendiri. Dia beriman bukan karena dipengaruhi oleh orang lain ketika Baddhiya dari suku Licchavi minta diterima sebagai pengikut, Buddha bertanya, “Baddhiya apakah aku mengajakmu: mari Baddhiya menjadi muridmu dan aku akan menjadi gurumu?” jawab Baddhiya. “tidak bhante”. Buddha tidak mengajak tetapi Baddhiya sendiri yang ingin menjadi pengikut karena menaruh keyakinan. Banyak orang seperti  Baddhiya yang meninggalkan kepercayaannya yang lama, lalu meminta sendiri untuk menjadi murid Buddha. Orang-orang yang tidak senang terhadap Buddha menuduh bahwa ia menggunakan kekuatan sihir sehingga orang percaya kepadanya. Badhiya berpendapat, baik sekali jika orang-orang bisa ditundukkan dengan cara itu, karena sebenarnya bermanfaat bagi mereka sendiri. Namun menurut Buddha yang mendatangkan kebahagian bagi orang-orang itu adalah karena mereka menghindari kejahatan dan melakukannya, jadi bukan masalah tunduk atau percaya kepadanya (A .II, 193).

2.        Kekuatan Keyakinan
      Keyakinan atau kepercayaan adalah kekayaan yang terbaik yang dapat dimiliki seseorang (S.I,41). Kekayaan yang dimaksud tidak hanya harta benda tetapi juga sukses dalam kehidupan sosial, hingga dilahirkan di alam-alam surga, dan puncaknya mencapai nirwana. Orang yang tak tergoyahkan keyakinannya dan mempunyai kebajikan yang dihargai oleh orang-orang mulia, akan melaju dan mencapai pantai serbang, menuju lenyapnya kekotoran batin (S. V, 396).
Keyakinan dapat mengubah penderitaan menjadi kebahagian dalam rumasan sebab-musabab yang saling bergantungkan disebutkan bahwa penderitaan menimbulkan keyakinan; keyakinan menimbulkan rasa kegimbara; rasa gembira menimbulkan menimbulkan rasa terpesona; rasa terpesona menimbulkan ketenangan; ketenangan menimbulkan kebahagiaan; kebahagiaan menimbulkan pemusatanpikiran; pemusatan pikiran menimbulkan pengetahuan dan pandangan akan segala hal sebagaimana adanya; pengetahuan dan pandangan akan segala hal sebagaimana adanya menimbulkan kejenuhan; kejenuhan menimbulkan ketiadaan hawa nafsu; ketiadaan hawa nafsu menimbulkan pembebasan; pembebasan menimbulkan pemadaman atau tiada lagi kelahiran lagi. Inilah tujuan akhir atau Nirwana yang dicapai oleh arahat (S.II,32).
Karena keyakinannya Ananda pernah mengemukakan bahwa ia beruntung mendapat seorang guru dengan kekuatan adikodrati yang suaranya menjangkau seluruh jagad raya (melampaui semilyar alam tata surya raya). Udayin menyindir Ananda, walau Sang Guru memiliki kekuasaan itu, apa gunanya untuk dia. Kepada Udayin Buddha menyatakan bahwa berdasarkan keyakinan yang teguh itu, sekalipun misalnya Ananda wafat sebelum mencapai kebebasan sempurna ia akan terlahir tujuh kali merajai para dewa, dan merajai tanah jambudipa (A.I,228). Tentu saja karena Ananda melatih dirinya sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Buddha tidak hanya karena percaya.
      Menjelang Parinibbana Buddha menyatakan bahwa dengan memiliki keyakinan, mereka yang melakukan ziarah atau melihat dan menghormati stupa Buddha, akan merasa tenang dan bahagia. Keyakinan yang kuat akan membuatnya terlahir kembali dialam surga dikemudian hari (D.II, 140-142). Pikiran mendahului segala sesuatu. Dengan pikiran kita mengontrol perbuatan dan ucapan. Seperti bayangan perbuatan yang didasarkan pada keyakinan takkan pernah meninggalkan prang yang terlahir kembali di alam surga atau alam manusia. Hal ini dikemukakan oleh Buddha sehubungan dengan kasus Mattehakundali yang menjelang saat meninggal dunia menaruh kayakinan pada Buddha dan kemudian ia terlahir kembali di Surga Tavatimsa (Dhp. A. 2).
      Nagasena menjelasan kepada Raja Milinda bahwa ciri-ciri keyakinan adalah dengan memiliki ketenangan dan langkah maju. Ketika keyakinan timbul ia akan menghancurkan segala halangan. Tanpa penghalang, pikiran akan mejadi terang , bersih dan tenang. Langkah maju diukur dari praktik meditasi mencapai apa yang belum dipakai, mengatasi apa yang belum teratasi, merealisasi apa yang belum teratasi (Miln. 34).

         B.      Pokok-Pokok Keyakinan

   “Pintu kehidupan abadi telah terbuka, Brahma. Biarlah mereka yang dapat mendengar menjawabnya dengan keyakinan,”. Kata Buddha menjawab permohonan Brahmasahampati, agar Buddha mengajarkan dharma kepada orang lain (M. I, 169).
    Ada empat pokok keyakinan yang paling utama. Yang pertama, keyakinan kepada Buddha. Kedua, keyakinan kepada jalan mulia berunsur delapan (Arya Atthangika-magga).[5] Ketiga, keyakinan pada ketiadaan hawa nafsu (viraga) atau Nirvana,yang dinyatakan juga sebagai Dhamma. Keempat keyakinan pada arya-sangha, persekutuan orang-orang suci (A. II, 34).
         Beriman kepada Buddha berarti memiliki keyakinan pada penerangan sempurna dari Tathagata (Tathgatabodhi-sadda). Keyakinan ini juga terkait erat dengan keyakinan terhadap hukum karma atau perbuatan (karma-saddha), keyakinan terhadap akibat dari hukum karma (vipaka-saddha), keyakinan bahwa semua makhluk mempunyai karma masing-masing dan bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri (kammassakata-saddha).[6]

1.       Keyakinan Terhadap Triratna
Kehidupan agama Buddha sepenuhnya dibangun atas dasar keyakinan terhadap Buddha Gotama, yang disebut juga Sakyamuni. “Demikian sesungguhnya Bhagawa, Yang Mahasuci (araham), yang telah mencapai Penerangan Sempurna berkat kekuatan-Nya sendiri (Sammasambuddho), sempurna pengetahuan serta tingkah laku-Nya (Vijjacaranasampanno), sempurna menempuh Jalan (Sugato), pengenal segenap alam (Lokavidu), pembimbing manusia yang tiada taranya (Anuttaro purisadammasarathi), Guru para dewa dan manusia (satthadeva manussanam), Yang Bangun (Buddho), Junjungan yang dimuliakan (Bhagava)” (M. I, 37).
  Buddha artinya orang yang telah mencapai Penerangan Sempurna (budh, bangun, mengetahui). Buddha adalah gelar, bukan nama diri. Sebutan untuk Buddha yang sering dipergunakan, antara lain: Bhagawa, Tathagata, Sugata. Ada banyak Buddha. Sammasambuddha adalah Buddha yang menurunkan ajaran kepada orang lain, baik manusia ataupun dewa. Kitab Lalitavistara mengemukakan 54 Buddha dan Mahavastu lebih dari 100 Buddha. Kitab Buddhavamsa mencatat secara kronologis 28 Sammasambuddha yang muncul dalam 5 periode siklus masa-dunia (kalpa). Pada masa dunia sekarang terdapat 5 Buddha. Buddha yang dikenal secara historis, Buddha Gotama (Sakyamuni) adalah yang ke empat, (sebelumnya Kakusandha, Konagamana, Kassapa) dan kelak akan datang Buddha berikutnya yang dinamakan Buddha Maitreya. Paccekabuddha adalah Buddha yang tidak memberikan ajaran kepada orang lain. Sedangkan Savakabuddha atau Anubuddha mencapai penerangan sempurna dengan melaksanakan ajaran Sammasambuddha.
    Bagaimana seseorang dapat membuktikan bahwa Buddha benar-benar mencapai penerangan sempurna? Mereka yang menjadi pengikut Buddha Gotama memilki keyakinan karena mendengar sabda dan kotbah-Nya (baik langsung atau tidak langsung); karena puas dengan Tanya jawab; karena melihat tanda-tanda fisik Manusia Agung (Mahapurisa-Lakkhana); mengamati tingkah laku Buddha sehari-hari yang maha suci, maha tahu, maha pengasih; menyaksikan berbagai mukjizat dan kekuatan atau kemampuan supernatural yang ditunjukan oleh-Nya. Lalu lewat praktik, khususnya meditasi, mereka membuktikan sendiri realitas yang diajarkan itu.
      Sekarang ini, kita hanya dapat mendengar tentang Buddha lewat kesaksian orang lain. Kita belajar dari Guru, khususnya Bhikkhu-bhikkhu, dan menggunakan kitab suci sebagai referensi. Dari dekat kita dapat mengamati dengan kritis bagaimana mereka yang menjalankan ajaran Buddha hidupnya tidak akan tercela dan mencapai kemajuan, sehingga dapat diteladani. Keyakinan menjadi kuat lewat pengalaman, setelah kita mendapat manfaat dari ajaran yang dipraktikan oleh kita sendiri.
     Keyakinan pada Dharma meliputi Jalan Mulia Berunsur Delapan dan Nirwana, berkenaan dengan aspek duniawi (lokiya) dan diatas duniawi (lokuttara), atau keadaan yang bersyarat (sankhata-dhamman) dan keadaan yang tidak bersyarat (asankhata-Dhamma). Dharma (skt.), Dhamma (pali) sebenarnya mengandung banyak makna, berbeda-beda artinya untuk konteks yang berlainan. Secara harfiah Dharma diartikan segala sesuatu kecuali ketiadaan atau nihil (dhr berada atau mendukung dirinya). Dharma bisa berarti kebenaran, ajaran, agama, hukum, moral, kebajikan, keadilan, nilai, suatu tujuan hidup, tugas dan kewajiban, segala Sesutu, fenomena, keadaan, perbuatan, objek mental.
      Dalam pengertian ontology dan ketuhanan dharma dimaksudkan:
1.  Dharma sebagai kebenaran mutlak, transenden dan  merupakan tujuan tertinggi atau terakhir. Dharma ini adalah yang mutlak (asankhata-dhamma) yang dikenal sebagai nirwana, dharmakaya, dharmabhuta, paramartha.
2.   Dharma sebagai hukum dharma (dhamma niyama) yang menguasai dan mengatur alam semesta, tidak diciptakan, kekal dan imanen.
3.       Dharma adalah fenomena atau peristiwa yang multiple, yang sesaat, fisik maupun mental, yang tunduk pada hukum dharma. Dalam hal makhluk hidup yang mempunyai kehendak, hukum itu mewujud sebagai sebab musabab yang saling bergantungan.
Dhamma yang dipandang dalam dua aspek, transenden dan imanen merupakan dharma yang telah membangunkan Bodhisatva Gotama saat penerangan sempurna[7]. Tidak lama setelah mencapai penerangan sempurna, Buddha Gotama menyatakan, “Dharma yang telah menimbulkan penerangan sempurna dalam diri-ku, hidup dalam-nya, aku memuja dan menghormati Dharma.” Kemudian Brahma Sahampati berkata, “mereka, Bhagawa, para Buddha dimasa yang lalu, hidup didalam Dharmma, memuja dan menghormati-Nya. Mereka yang akan menjadi Buddha dimasa yang akan datang, juga hidup di dalam Dhamma memuja dan menghormatinya. Begitu pula dengan Bhagawa, Buddha masa sekarang, hidup didalam Dhamma, memuja dan menghormatinya.” (S. I, 139).
Apakah Tathagata muncul atau tidak, Dharmma dalam pengertian di atas selalu ada. Kita memang mengenal-Nya melalui apa yang diajarkan oleh Buddha. “Dharma telah dibabarkan sempurna oleh Bhagawa (Svakkahato Bhagawata Dhammo), berada sangat dekat (Sandhitiko), tidak dibatasi oleh waktu (Akaliko), mengundang untuk dibuktikan (ehipashiko), menuntun kearah pembebasan (opanayiko), dapat diselami oleh para bijaksana dalam batin masing-masing (Paccatam veditabbo vinnu)” (M. I, 37).
Mengenai Arya-Sangha dinyatakan sebagai berikut: “sangha siswa sang Bhagawa berperilaku baik (supatipanno Bhagavato savaka sangho), berperilaku lurus (ujupatipanno), berperilaku benar (nayapatipanno), berperilaku patut (samicipatipanno). Mereka empat pasang makhluk terdiri dari delapan makhluk suci. Itulah Sangha siswa Sang Bhagava, patut dimuliakan dan menerima persembahan (ahuneyyo), patut disambut dengan ramah (pahuneyyo), patut menerima persembahan (dakkhineyyo), patut dihormati (anjalikaraneyyo); lapangan menanam jasa yang tiada taranya dialam semesta (anuutaram punnakettham lokasa).” (M.I.37) .
Keempat pasang makhluk suci yang dimaksud adalah mereka adalah yang telah mencapai kesucian tingkat pertama hingga keempat, yaitu: Sotapatti (pemasuk arus), sakadagami (yang akan kembali atau terlahir di bumi sekali lagi), anagami (yang tidak kembali lagi dialam dewa dan manusia), dan arahatta (yang telah sempurna, tidak lagi mengalami kelahiran dan kematian), masing-masing dibedakan atas yang telah mencapai jalan (magga), dan telah mencapai hasil (phala), (Pug 73). orang-orang kudus itu dinamakan arya-puggala, bisa seorang Bhikkhu atau Bhikkhuni, bisa saja upassaka atau upassika.
Seorang Sotapanna telah berhasil membasmi belenggu (samyojhana) berupa pandangan keliru tentang keakuan (sakkayadhitti), terhadap guru dan ajaran sejati. (vicikiccha), kepercayaan akan tahayul bahwa upacara saja dapat mengakhiri penderitaan (silabbataparamasa). Ia tidak akan mundur atau mandek dalam perkembangn batin, sehingga tidak akan dilahirkan lebih dari tujuh kali dalam perajalanannya mencapai penerangan sempurnanya. Selain telah membasmi ketiga belenggu yang disebut terdahulu, sakadagami telah melemahkan dan anagami telah membasmi belenggu lain berupa cengkraman nafsu birahi (kamaraga) dan keingina jahat, benci dan dendam (patigha), arahat lebih jauh telah membasmi belenggu berupa nafsu keinginan untuk hidup dialam yang bermateri (ruparaga),  nafsu keinginan untuk hidup dialam yang tidak bermateri (aruparaga), kesombongan (mana), kegelisahan (uddhacca), dan ketidaktahuan atau kegelapan batin (avijja).

2.       Makna Perlindungan
        Buddha, Dhamma dan Sangha disebut sebagai Triratna atau Tiga Permata. Langkah pertama        yang diambil oleh setiap umat Buddha dalam memasuki jalan keselamatan adalah menyatakan            keyakinannya dengan pengakuan berlindung pada Triratna (Tisarana).

 Aku berlindung pada Buddha (Buddham saranang gacchami)
Aku berlindung pada Dharma (Dhammang saranang gacchami)
Aku berlindung pada Sangha (Sanghang saranang gacchami)

Berlindung pada Triratna adalah yakin dengan sepenuh hati kepada Triratna sebagai pembawa inspirasi, penuntun hidup, bahkan menjadi tujuan hidup. Orang yang berlindung pada Buddha, dharma dan Sangha dengan bijaksana dapat melihat Empat Kebenaran Mulia yaitu Dukkha, asal mula dukkha, lenyapnya dukkha dan jalan mulia berunsur delapan yang menuju lenyapnya dukkha (Dhp.190-1910). Setelah melihat dirinya dengan baik ia memperoleh perlindungan yang sukar didapat, sehingga sesungguhnya diri sendirilah yang menjadi pelidung bagi dirinya, (Dhp. 160).  Jelas, berlindung pada Buddha bukan suatu sikap yang pasif pasrah pada kehendak diluar diri sendiri. Buddha mengajarkan agar kita tidak menyandarkan nasib pada makhluk lain, dan menjadi pelindung bagi diri sendiri dengan berpegang teguh pada kebenaran. “karena itu Ananda, jadilah pelita pada dirimu sendiri. Jadilah pelindung bagi dirimu sendiri. Jangan menyandarkan dirimu pada perlindungan dari luar. Peganglah teguh dharma sebagai pelita. Peganglah teguh dharma sebagai pelindung. Jangan mencari perlindungan diluar dirimu.” (D.II, 100).
Keyakinan yang disertai pernyataan berlindung ini mempunyai tiga aspek: (1) aspek kemauan, yang menghendaki adanya kesadaran dan tindakan aktif, bukan pasif menunggu berkah dari atas; (2) aspek pengertian, yang menghendaki pemahaman terhadap hakikat perlindungan dan perlunya perlindungan, yang memberi harapan dan yang menjadi tujuan; (3) aspek perasaan, yang mengandung unsur percaya, keikhlasan, syukur dan cinta kasih, yang menimbulkan bakti, mendorong pengabdian, dan memberi ketenangan, kedamaian, semangat, kekuatan, dan kegembiraan. [8]
Berlindung pada Buddha mengandung arti menjunjung Buddha yang diyakini telah mencapai penerangan dengan kekuatan sendiri dan mengajarkan pengetahuan, sehingga kita dapat melaksanakan dan mengalami apa yang telah dicapainya; mengingat setiap orang mempunyai benih kebuddhaan dalam dirinya dan dapat menjadi Buddha. Buddha sebagai pelindung bukanlah pribadi petapa Gotama, melainkan para Buddha sebagai manivestasibodhi (kebuddhaan) yang mengatasi keduniawian.
Berlindung kepada Dharma mengandung arti menjunjung Dharama yang tiada lain dari kebenaran mutlak. Dan dalam pengertian sebagai hukum yang menguasai atau mengatur alam semesta, Dharma melindungi mereka yang melaksanakan kebenaran. Dharma sebagai pelindung tidak dimaksudkan dengan kata-kata yang tertulis dalam kitab suci atau konsep dalam pikiran manusia yang masih dicengkram keduniawian, melainkan kesucian dan nirwana yang dicapai pada akhir jalan.
Berlindung kepada Sangha mengandung arti menjunjung tinggi sangha yang memeiliki perilaku benar, menjadi contoh teladan, membimbing dan menuntun makhluk-makhluk lain. Sangha sebagai pelindung bukan kumpulan bhikkhu yang bebas kekotoran batin (sammuti-sangha), melainkan orang-orang yang telah mencaapai kesucian. Perlindungan berhubungan dengan kemampuan yang ada pada setiap untuk mencapai tingkat kesiucian hingga menjadi Buddha.[9]
Mereka yang berlindung pada Triratna mengikuti suatu cara hidup untuk mencapai cita-cita penerangan diantaranya, dalam praktik sehari-hari umat memuja Triratna. Pemujaan demikian dapat dimengarti, apabila diingat bahwa dalam konsep Triratna itulah yang transenden dapat dijangakau oleh pikiran manusia biasa. Triratna dipandang merupakan manivestasi atau cerminan Tuhan Yang Maha Esa dalam dunia ini karena aspek transenden yang dimiliknya. Tetapi konsep Triratna tidaklah sama dengan konsep Tuhan dalam agama lain. 10

          C.      Pandangan Benar (Samma Ditthi)

        Pandangan benar adalah pengetahuan benar tentang Empat Kebenaran Mulia yaitu pengetahuan benar tentang Dukkha, sebab menculnya dhukkha , lenyapnya Dukkha dan jalan menuju lenyapnya Dukkha. Pada tingkatan biasa hanya merupakan  pengetahuan yang berdasarkan pada penalaran manusia biasa saja yang didasarkan pada kemampuan berpikir seseorang yang masih terbatas pada pengalaman yang dialaminya sehari-hari melalui indera-inderanya. Pandangan benar akan memastikan kebenaran pikiran dan keselarasan gagasan. Ketika gagasan dan pikiran menjadi jelas dan bermanfaat, ucapan dan perbuatan akan mengikutinya. Pandangan benar juga akan menyebabkan seseorang menghentikan usaha yang tanpa hasil dan mengusahakan daya upaya benar yang membantu mengembangkan perhatian benar. Daya upaya benar dan perhatian benar, dengan dituntun oleh pengertian benar, akan menyababkan unsur-unsur lain dari sistem bergerak dalam hubungan yang tepat.
        Pandangan benar dengan penalaran biasa setelah mempelajari Buddha Dhamma akan menyimpulkan bahwa kamma kita sendiri sangatlah mempengaruhi keberadaan dan kehidupan kita. Kitapun dapat mengetahui  secara garis besarnya mengenai cara kerja hukum kamma dan meyakini bahwa pada umumnya semua keadaan kita adalah sebagai akibat dari kamma kita sendiri. Pandangan benar akan keyakinan terhadap hukum-hukum kamma meliputi:
1.       Kammassaka (kamma sebagai milik atau harta)
2.       Kammadayada (kamma sebagai warisan)
3.       Kammayoni ( kamma yang melahirkan)
4.       Kammabandu (kamma sebagai kerabat)
5.       Kammappatissarana (kamma sebagai pelindung)
Pandangan benar kita akan mengingat apabila pengalaman kita telah meningkat pula.  Misalnya kita sukses melaksanakan meditasi, yang akan membantu kita melihat, mengetahui dan mengerti hal-hal yang belum pernah kita ketahui sebelumnya, yang akan mengakibatkan pengetahuan kita meningkat pula. Pengetahuan yang tinggi akan menghasilkan cara berfikir yang lebih maju, sehingga dengan demikian pandangan hidup kita akan lebih jelas dan keyakinan bertambah kuat.
Pandangan benar seseorang akan menjadi sempurna pada saat ia mencapai pembebasan mutlak, atau lenyap nya dukkha, yaitu Nibbana. Pada tingkat ini, pandangan benar telah berkembang pada tingkat tertinggi, sebab pengetahuan tentang kesunyataan telah direalisasikannya, serta menyadarinya dengan penuh pengertian bahwa segala sesuatu yang terkondisi adalah tidak kekal (Anicca). Ia juga akan mengerti dengan sempurna bahwa ketidak-kekalan segala sesuatu yang terkondisi itu adalah tidak menyenangkan atau tidak memuaskan (Dukkha), sebab segala sesuatu yang terkondisi itu adalah tanpa suatu jiwa atau aku yang kekal (Anatta).

            D.      Semangat Misioner

“Pergilah Oh Para Bhikkhu, demi kebaikan semua, demi kebahagian semua, atas  dasar belah kasih pada dunia, demi kebaikan, keuntungan dan kebahagian para dewa dan manusia”.
--Sang Buddha—
Ketika kita membalik halaman sejarah ajaran Buddha, kita mempelajari bahwa para misioneris buddhis menyebarkan pesan mulia sang Buddha dengan jalan penuh kedamaian dan terhormat. Misi penuh damai semacam itu semestinya membuat malu mereka yang melakukan metode kekerasan dalam menyebarkan agama mereka.
Misioneris buddhis tidak belomba dengan umat beragama lain dalam mengubah orang diluar sana. Tidak ada misionaris atau biarawan buddha yang berfikir untuk membabarkan niat buruk terhadap orang ‘yang tidak percaya’. Intoleransi agama, budaya, dan bangsa bukanlah prilaku orang yang terisi dengan semangat buddhis sejati. Agresi tidak pernah disetujui dalam ajaran Buddha. Dunia telah berdarah dan cukup menderita akan penyakit dokmatisme, panatisme agama, dan intoleransi. Baik dalam agam maupun politik, orang dengan sengaja membawa manusia untuk menerima jalan hidup mereka sendiri. Dalam melakukan hal ini, kadang-kadang menunjukkan permusuhan mereka terhadap pengikut agama lain.
Ajaran Buddha tidak pernah bertentangan dengan tradisi dan adat nasional, seni, dan budaya orang yang menerimanya sebagai suatu jalan hidup, tetapi membiarkan mereka tetap ada dan mendorong perbaikan lebih lanjut.  Pesan sang Buddha tentang cinta dan belas kasih membuka hati orang dan mereka mau menerima ajaran tersebut, dengan demikian membantu ajaran agama Buddha menjadi agama dunia. Misionaris buddhis diundang oleh berbagai negara yang menyambut mereka dengan rasa hormat. Ajaran buddha tidak pernah diperkenalkan kenegara manapun melalui pengaruh penjajahan atau kekuasaan politik lainnya.
Ajaran Buddha adalah kekuatan spritual pertama yang kita ketahui dalam sejarah yang mampu mempererat sejumlah besar ras yang terpisahkan oleh hambatan jarak, bahasa, budaya, dan moral. Motifnya bukanlah perebutan perdagangan internasional, pembangunan kekaisaran atau nafsu pendudukan daerah baru. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bagaimana orang dapat memperoleh lebih banyak kedamaian dan kebahagiaan melalui praktek Dhamma.
Contoh yang baik, dari kualitas dan pendekatan misionaris buddhis adalah kaisar asoka. Pada masa Kaisar Asoka ajaran Buddha menyebar kebanyak negara asia dan barat. Kaisar Asoka mengutus misionaris buddhis keberbagai belahan dunia untuk memperkenalkan pesan sang Buddha. Asoka menghormati dan mendudkung setiap agama pada masa itu. Pengertiannya terhadap agama lain sungguh mengesankan. Salah satu kutipannya tertatah pada batu dipilar Asoka dan masih berdiri di India hingga kini.
“seseorang sebainya tidak hanya menghormati agamanya sendiri dan mengutuk agama lain, tetapi seseorang sebaiknya menghormati agama lain dengan alasan tertentu. Dengan berbuat demikian, seseorang membantu agama sendiri untuk tumbuh dan menyumbangkan jasa bagi agama lain. Dengan berbuat sebaliknya, seseorang manggali kubur bagi agamanya sendiri dan juga menyakiti agama lain. Barang siapa yang menghormati agamanya sendiri dan mengutuk agama lain, melakukannya melalui pemujaan terhadap agamanya sendiri, berfikir, ‘saya akan memuliakan agama saya sendiri’ namun sebaliknya, dengan berbuat demikian ia justru melukai agamanya sendiri dengan lebih parah; maka kerukunan itu baik adany. Biarkan semua mendengar dan berniat mendengarkan ajaran yang dianut oleh orang lain”.
Sekitar tahun 268 SM, beliau membuat doktrin Sang Buddha menjadi suatu kekuatan yang hidup di india. Rumah sakit, lembaga pelayanan sosial, universitas untuk pria dan wanita, kesejahteraan umum, dan pusat rekreasi bersemi dengan gerakan baru ini, dengan demikian orang menyadari kejamnya perang berdarah.
Zaman keemasan dalam sejarah India dan negara-negara Asia lainnya adalah masa ketika seni, budaya, pendidikan, dan peradaban mancapai puncaknya. Ini terjadi pada masa umat Buddha merupakan pengaruh terbesar di negara-negara ini. Perang suci, perusakan pengejaran, dan diskriminasi agama tidak mencemari masa-masa negara buddhis. Inilah sejarah mulia umat manusia yang benar-benar dibanggakan. Universitas besar Nalanda India yang tumbuh subur sejak abad ke-2 sampai ke-9 merupakan produk ajaran Buddha. Ini adalah universitas pertama dalam sejarah yang kita ketahui dan dibuka untuk siswa internasioanal.
Pada masa lalu, ajaran Buddha mampu berada dibanyak negara belahan timur, walaupun komunikasi dan transportasi masih sulit dan orang harus menyeberangi bukit dan gurun. Dalam rintangan yang sulit ini, jaran Buddha menyebar jauh dan luas. Kini pesan dhamma ini menyebar ke barat. Orang barat tertarik pada ajaran Buddha dan percaya bahwa ajaran Buddha adalah satu-satunya agama yang selaras dengan pengetahuan modern.
Misionaris Buddhis tidak memilki keinginan atau bernafsu untuk mengubah orang yang telah memiliki agama yang layak untuk dijalani. Jika orang puas dengan agamanya sendiri, maka tidak ada keperluan bagi misioneris Buddhis untuk mengubah mereka. Mereka mendukung penuh misioneris ajaran lain jika gagasannya adalah untuk mengubah orang-orang jahat, kejam, dan tak beradab menjadi menjalani hidup religius. Umat Buddha bahagia melihat kemajuan agama lain sepanjang mereka benar-benar menolong orang lain untuk menjalani kehidupan religius menurut keyakinan mereka serta menikmati kedamaian, harmoni, dan pengertian. Sebaliknya misioneris Buddhis menyesalkan tingkah laku misionaris tertentu yang menggangu pengikut agama lain karena tidak ada alasan bagi mereka untuk membuat suasana kompetisi yang tidak sehat untuk mengubah agama jika tujuan mereka murni hanya untuk mengajari orang untuk menjalani kehidupan religius.
Dalam memperkenalkan Dhamma kepada orang lain, misionaris Buddhis tidak pernah mencoba untuk menggunakan pernyataan khayalan yang dilebih-lebihkan yang menggambarkan hidup surgawi untuk menaruh keinginan orang dan membangkitkan hasrat mereka. Sebaliknya, mereka mencoba untuk menjelaskan sifat sejati manusia dan kehidupan adiduniawi seperti yang diajarkan Sang Buddha.

       E.       Agama Yang Tepat

Agama apapun yang mengandung hal-hal semacam empat kebenaran arya dan jalan arya beruas delapan, dapat dianggap sebagai yang tepat.
            Sangat sulit untuk mengetahui kenapa ada begitu banyak agama dan agama mana yang benar. Pengikut setiap agama mencoba menunjukakan keunggulan agama masing-masing. Perbedaan melahirkan beberapa bentuk pengembangan.  namun dalam hal agama, orang memandang satu sama lain dengan kecemburuan, kebencian dan penghinaan. Praktek religus yang palng dihormati pada satu agama dianggap menggelikan oleh yang lain. Untuk memperkenalkan kehebatan dan pesan perdamaian bebrapa orang telah mengambil jalan dengan senjata dan perang. Apakah mereka tidak malah mencemari nama baik agama? Tampaknya agama-agama tertentu justru mangakibatkan perpecahan alih-alih persatuan umat manusia. Saat ini kita mengetahui banyak agama yang mendorong pengikutnya utuk membenci agama lain, tetapi hanya segelintir agama yang mendorong penghormatan pada agama lain. Setiap agama mengajarkan tentang kasih, tetapi kenapa suatu agama tidak bisa mengasihi agama lain?
Untuk menemukan agama yang sejati dan tepat kita harus menimbang dengan pikiran yang tidak berat sebelah apakah sebenarnya agama yang salah. Agama atau filosofi yang salah mencakup: materialisme yang menyangkal kelangsungan hidup setelah kematian; amoralisme yang menyangkal kebaikan dan kejahatan agama yang menyatakan bahwa manusia secara ajaib diselamatkan atau dihukum; evolusia keilahian yang berpegang bahwa segala hal sudah ditakdirkan dan semua orang ditakdirkan untuk mencapai pengampunan akhir melalui iman belaka.
Ajaran Buddha bebas dari dasar-dasar yang tidak memuaskan dan tidak pasti. Ajaran Buddha adalah realiatas dan dapat dibuktikan. Kebenarannya telah dibuktikan oleh sang Buddha, dibuktikan oleh murid-murid-Nya, dan selalu tetap terbuka dan dibuktikan pleh siapapun yang ingin membuktikkannya dan saat ini ajaran Buddha, sedang dibuktikan oleh metode penyelidikan ilmiah yang paling hebat.
Sang Buddha menasehatkan bahwa bentuk agama apapaun adalah tepat jika mengandung empat kebenaran arya dan jalan mulia beruas delapan. Hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa sang Buddha tidak ingin membentuk agama tertentu. Yang ia inginkan adalah mengungkapkan kebenaran sejati hidup kita dan dunia. Walaupun Sang Buddha menjelaskan empat kebenaran arya dan jalan mulia berunsur delapan dengan terperinci, metode ini bukan milik umat Buddha saja. Hal ini adalah kebenaran universal dan terbuka bagi siapa saja yang ingin memahami kondisi manusia dan mencapai kebahagiaan.
Kebanyakan orang merasa perlu untuk mengajukan argumen untuk ‘membuktikan’ kesahihan agama yang mereka ikuti. Beberapa orang menyatakan bahwa agama mereka adalah agama tertua, maka itulah yang benar. Yang lain menyatakan bahwa agama mereka adalah agama terakhir atau terbaru, maka itulah yang benar. Beberapa menyatakan bahwa agama mereka punya pengikut paling banyak maka itulah yang benar. Tetapi tidak satupun argument ini yang sahih untuk menetapkan kebenaran suatu agama. Seseorang dapat menilai suatu agama hanya dengan menggunakan akal sehat dan pengertian. Beberapa tradisi agama mengharuskan manusia untuk tunduk pada kekuatan    yang lebih besar dari dirinya, kekuatan yang mengatur dan mengendalikan ciptaanya, tndakannya, dan pembebasan akhirnya. Sang Buddha tidak menerima kekuatan semacam itu tetapi beliau memberikan kekuatan dahsyat tersebut kepada manusia dengan menyatakan bahwa setiap orang pencipta dirinya sendiri dan bertanggung jawab akan keselamatannya sendiiri. Itulah sebabnya dikatakan bahwa: “tak seoarangpu yang sangat tak bertuhan seperti sang Buddha, namun tak seorangpun yang sangat serupa tuhan seperti Sang Buddha”. Agama Buddha menberikan martabat yang besar bagi manusia; sekaligus memberinya tanggung jawab yang besar. Umat Buddha tidak melemparkan kesalahan pada kekuatan eksternal ketika sesuatu yang buruk menimpa dirinya. Tetapi mereka dapat menghadapi kemalangan dengan keseimbangan batin karena mereka tahu bahwa mereka mempunya kekuatan untuk melepaskan dirinya sendiri dari semua kesengsaraan.
Salah satu alasan mengapa ajaran buddha menarik bagi kaum intelektual dan mereka yan berpendidikan tinggi adalah abahwa sang Buddha dengan jelas melarang pengikutnya untuk menerima semua hal yang mereka dengar tanpa menguji kesahihannya lebih dahulu (bahkan sekalipun hal itu datang dari Sang Buddha). Ajaran Buddha tetap dan bertahan dengan tepat karena kaum intelektual telah menantang setiap aspek ajaran ini dan telah menyimpulkan bahwa sang Buddha selalu mengucapkan kebenaran yang tak terbantahkan. Sementara ahli-ahli agama lain mencoba untuk mempertimbangkan kembali ajaran penemunya dalam pandangan pengetahuan modern tentang alam semesta, ajaran Buddha justru menjadi acuan dan dibuktikan para ilmuan. 

      F.       Keyakinan Versus Kepercayaan

Keyakinan dan kepercayaan merupakan dua kata yang sangat mirip dalam pengartianya, banyak orang awam mengartikan sebagai dua kata yang memiliki arti yang sama, dimana yakin bisa dikatakan percaya dan percaya bisa dikatakan yakin. Namun jika dikaji dari makna katanya sesuai dengan pengertian dan pandangan yang benar, arti keyakinan disini bukan berarti kepercayaan yang membabi buta atau asal percaya begitu saja, akan tetapi merupakan “suatu keyakinan yang didasarkan pada pengertian yang muncul karena bertanya dan menyelidiki” (S. V, 226). Karena keyakinan itu muncul akibat pengertian, maka keyakinan umat Buddha pada sesuatu yang diyakini tidaklah sama kualitasnya. Tidak ada pengertian yang sama pada orang yang berbeda-beda dan akibatnya kualitas keyakinan setiap individu berbeda.
Yang disebut keyakinan adalah mengetahui suatu hukum kebenaran dengan jelas, sedangkan kepercayaan hanyalah karena menganggap suatu itu benar, tetapi tidak disertai dengan suatu bukti-bukti atau penglihatan lengkap. Seperti halnya pada zaman nenek moyang terdahulu, mereka mempunyai kepercayaan untuk dijadikan keyakinan mereka seperti kepercayaan animisme dan dinamisme yang dijadikan sebagai tempat berlindung dan memohon kebahagian bagi mereka, akan tetapi kepercayaan yang mereka yakini belumlah mereka buktikan kebenaran.
Setiap agama apapun bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa, meskipun pengertian dan makna yang diberikan oleh tiap agama terhadap Tuhan Yang Maha Esa berlainan antara agama yang satu dengan agama yang lainnya. Agama Buddha yakin dengan adanya Tuhan. Keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak sam dengan keyakinan terhadap adanya Benua Amerika atau keyakinan terhadap bentuk dunia yang bulat.

Daftar pustaka
- Krishnanda Wijaya Mukti. 2006. Wacana Buddha Dhamma. Yayasan Dharma  Pembangunan: Jakarta
-  Sri Dhammananda. 2005. Keyakinan Umat Buddha. Ehipassiko Foundation: Jakarta
- Tim Penyusun Departemen Agama Buddha SLTA Kelas I. 2006. Buku Pelajaran Pendidikan Agama Buddha. Paramita: Surabaya
- Sumber Primer





[1] Lihat Eka Dharma Putra, Etika Sederhana Untuk Semua, Perkenalan Pertama,Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993, hlm.3.
[2]David  J. Kalipahana , Filsafat Buddha, Sebuah Analisis Historis, diterjemahkan oleh Budaya Kandahjaya,  Jakarta: Erlangga, 1996, hlm.4.
[3] H.M.Arifin, menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar,  Jakarta: Golden Terayon Press, 1990, catakan ke-3
[4] Sumedha Widyadharma, Dharma Sari, Jakarta: -, 1989. Cetakan ke-5, hlm.12-13

[5] Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha: Pengertian Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Mata Pencaharian Benar, Daya Upaya Benar, Perhatian Benar, Samadhi Benar.
[6] Phra Fidhu Rdhammabhorn, Ajaran Bagi Pemula, Bandung: Yayasan Bandung Sucinno Indonesia, 1992, hlm.164
[7] Teja S. M. Rashid, Dhamma,Arti Kata dan Pengunaannya Dalam Agama Buddha, Jakarta: Penerbit Buddhis Bodhi, 1996, hlm.43 dan 51
[8] Lihat Corneles Wowor, Herman S. Endro Hudoyo Hupudiyo, buku Materi Pokok Pendidikan Agama Buddha, modul 1-3, Jakarta: Universitas terbuka, 1985, Hlm.36-38.
[9] Ibid., hlm.37