INTRAPERSONAL
SKILL
GURU
PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA
A.
Intrapersonal
Skill Guru.
Pendidikan merupakan suatu proses yang
bertujuan. Keberhasilan pendidikan dalam mewujudkan tujuan-tujuan diinginkan
sangat kepada aktor atau pelaku pendidikan itu sendiri. Aktor yang dimaksud adalah para guru atau pendidik,
baik di lingkungan formal informal maupun nonformal. Hal ini menunjukkan bahwa
pendidik mengemban tanggung jawab yang demikian besar terhadap keberhasilan
proses pendidikan yang dilaksanakan atau diselenggarakan. Oleh karena itu, seorang pendidikan di
lingkumgan formal khususnya, mau tidak mau mesti memiliki sejumlah kompetensi
atau kemampuan khusus yang mendukung bagi pelaksanaan profesinya sebagai guru.
Dalam praktiknya di lapangan seorang
guru senantiasa berhadapan dengan dua alternatif kemungkinan. Pertama, seorang
guru dikatakan “berhasil” dalam mendidik, dan kedua seorang guru dikatakan
“gagal” dalam mendidik. Namun seringkal rasio antara kedua kelompok guru
tersebut tidak seimbang. Guru yang “berhasil” selalu saa lebih sedikit
jumlahnya dibandingkan guru yang “gagal” atau minimal belum berhasil. Ketidak
berhasilan tersebut antara lain disebabkan terpenuhinya syarat-syarat menjadi
guru yang profesioanal. Syarat-syarat tersebut demikian banyak dan sangat
kompleks serta menuntut kemauan dan kerja keras dan pribadi guru itu sendiri.
Berdasarkan ketentuan Undang-undang No.
14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, persyaratan guru yang minimal harus
menguasai empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi personal
(kepribadian), kompetensi profesioanl dan kompetensi sosial. Guru yang
menguasai keempat kompetensi tersebut dengan baik, memberikan peluang lebih
besar terhadap keberhasilannya dalam
melaksanakan tugas tanggungjawabnya sebagai seorang guru atau pendidik. Arti
dari kompetensi itu sendiri adalah satu kesatuan yang utuh dan merupakan
gambaran potensi, pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dinilai, yang dengan
profesi tertentu berkenaan dengan bagian-bagian yang dapat di aktualisasikan
dan diwujudkan dalam bentuk tindakan atau kinerja untuk menjalankan profesinya.
Pengertian
Intrapersonal Skill
Intrapersonal skill dapat disamakan
arinya dengan Kompetensi Kepribadian, yaitu sifat-sifat unggul seseorang,
seperti ulet, tangguh, atau tabah dalam menghadapi tantangan atau kesulitan,
dan cepat bangkit apabila mengalami kegagalan memiliki etos belajar dan etos
kerja yang tinggi, berfikir positif terhadap orang lain, bersikap seimbang
antara mengambil dan memberi dalam hubungan sosial, dan memiliki komitmen atau
tanggungjawab. Sifat-sifat unggul seperti ini merupakan modal utama bagi
seorang guru untuk meraih kesuksesan, terutama kesuksesan dalam mendidik.
Didalam peraturan Pemerintah Nomor 19
tahun 2005 tentang Standar Nasional Pndidikan pada penjelasan Pasal 28 ayat 3
butir b dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian
(Intrapersonal skill) adalah kemampuan kepribadian yang mantap, dewasa arif dan
berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia.
Jadi dari uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian atau
Intrapersonal Skill adalah kemampuan mengelola diri sendiri secara tepat dimana
seseorang mampu mengelola dan mengarahkan dirinya sendiri kearah yang lebih
baik. Kemampuan-kemampuan yang dimaksud tersebut berupa:
a) Bertindak sesuai dengan norma agama hukum,
sosial, kebudayaan Indonesia dengan Indikator: (1) menghargai semua peserta
didik tanpa membeda-bedakan statsnya, (2) bersikap sesuai dengan norma-norma
ynag berlaku.
b Menampilkan
diri sebagai pribadi yang mantap, stabil dewasa arif dan berwibawa, dengan
indikator: (1) pribadi yang mantap dan stabil, dan (2) pribadi yang arif dan
bijaksana, bertanggungjawab dan mempunyai kewibawaan.
c) Menampilkan
diri sebagai pribadi yang bertujuan jelas, berakhlak mulia bertakwa, menjadi
teladan, dengan indikator: (1) jujur, tegas, dan manusiawi, (2) bertakwa dan
berakhlak mulia, (3) menjadi sumber motivasi dan inspirasi bagi murid.
d) Menunjukkan
etos kerja, taggungjawab yang tinggi bangga menjadi guru, ercaya diri mandiri
secara profesional, dengan indikator: (1) mengutamakan kepentingan profesi dan
kepentingan lain, (2) bekerja secara profesional, dan (3) bekerja niat, ikhlas
dan tulus dari hati nurani atau tanpa paksaan dari pihak lain.
e) Mampu
menjunjung tinggi, memahami, menerapkan dan berprilaku sesuai kode etik guru,
dengan indikator: (1) berprilaku sesuai kode etik guru dan (2) mampu
melaksanakannya dalam mendidik.
f) Hendaknya
selalu belajar dan tidak merasa malu untuk menerima ilmu dari orang yang lebih
rendah darinya, baik secara kedudukan ataupun usianya.
g) Memiliki
rasa bangga menjadi guru dan percaya diri pada diri sendiri.
B.
Intrapersonal
Skill Guru Pendidikan Agama Buddha .
Pekerjaan guru adalah suatu profesi
yang menutut pengetahuan, keterampilandan keahlian tertentu. Karena itu seorang
guru harus memiliki kompetensi-kompetensi yang berfungsi untuk membantu seorang
guru mencapai kesuksesasan sebagai seorang pendidik. Seorang guru harus
memiliki kompetensi atau kemampuan kepribadian (intrapersonal skill) terkait
dengan tanggungjawab moral dan dantanggung jawab sosial yang harus dipraktekkan
dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam proses mendidik
Untuk mengajar Sang Buddha memberi
petunjuk kepada Ananda agar memenuhi lima hal yaitu: mengajar secara bertahap,
mengajar dengan alasan atau berdasarkan sebab yabf mendahului sehingga
dimengerti, mengajar terdorong karena cinta kasih, mengajar tidak bertujuan
untuk mendapatkan keuntunan pribadi, mengajar tanpa merugikan diri sendiri
maupun orang lain (A. III, 184).
Buddha mengajarkan bahwa didalam
menjalankan aktivitas sehari-hari, seseorang terutama guru haruslah memiliki
beberapa kemampuan untuk mengarahkan dirinya kearah masa depan yang lebih baik.
Selain itu, seorang guru sebaiknya memiliki lima kualitas sebagaimana seorang
Bhikkhu senior, yaitu: ia adalah seorang yang menguasai analisis logika;
menguasai analisis hubungan sebab akibat; menguasai analisis tata-bahasa;
menguasai analisis segalla sesuatu yang dapat dikenali; apa yang harus
dilakukan oleh para pengikut (siswa), menjalankai kehidupan suci, besar atau
kecil cakap atau aktif, berusaha meneliti persoalan; siap melakukan dan
menmbuatnya terlaksana (A. III, 113).
Selain uraian diatas, Intrapersonal
skill atau kemampuan (keterampilan) yang sebaiknya dimiliki seorang guru untuk
meningkatkan kualitas diri sebagai seorang pendidik dan mampu menjadi pendidik
yang berhasil adalah sebagai berikut:
a)
Memiliki
Etos kerja
Etos kerja merupakan semangat kerja
ynag menjadi ciri khas terkait dengan keyakinan seseorang atau sekelompok
orang. Semangat itu dibentuk oleh pandangan hidup untuk mencapai kesempurnaan.
Etos kerja dalam agama Buddha adalah peyempurnaan diri dengan karma secara
produktif dan membuang egoisme. Setiap makhluk bertanggungjawab atas
perbuatannya sendiri. Perbuatan yang menentukkan bagaimana nasibnya, kemudian
kelahiran dikemudian hari (A.V, 288).
Ketika melakukan pekerjaan apapun,
selain keyakinan, diperlukan adanya usaha yang penuh semangat, kesadaran dalam arti
perhatian yang penuh, konsentrasi atau samadhi dan kebijaksanaan (A. II, 10) .
b)
Disiplin
Pendidikan mencakup proses
pendisiplinan. Disiplin tersebut tambak dari ketaatan pada suatu sistem nilai
yang terkait dengan hak dan kewajiban. Seperti yang di jelaskan oleh Sang
Buddha dalam Sigalavada Sutta, bahwa antara pendidik dan peserta didik memiliki
hak dan kewaijiban yang harus di laksanakan dalam proses pendidikan. Untuk
memelihara hak dan kewajiban dituntut adanya disiplin moral (D. I, 181).
Sebagai seorang pendidik, disiplin
moral harus ditanamkan dalam diri. Segala tindakan yang dilakukan oleh seorang
pendidik sangat berpengaruh terhadap perkembangan kualitas peserta didik atau
keberhasilan dalam mendidik. Peraturan dan sistem nilai yang sudah menjadi patokan
atau pedoman harus dilaksanakan dengan ketulusan dari hati, tidak hanya
semata-mata hanya karena sebuah tuntutan profesi, tetapi digunakan sebagai
pedoman untuk meningkatkan kualitas kepribadian. Orang bijkasana adalah orang
yang disiplin dan teguh dalam kaidah atau peraturan, dan
melakukan kebaikan atau jasa hanya semata-mata demi kebaikan dengan
menyadari bahwa hal tersebut adalah suatu kebenaran tanpa memperdulikan apa
yang akan mempersulit dirinya sendiri atau bagaiman sikap orang lain (A. I, 147).
Disiplin dapat menolong seseorang
untuk mengembnagkan diri secara optimal dan meraih prestasi intelektual, seni,
olah raga, dan lain-lain. “dengan usaha yang tekun, disiplin, semanagat dan
penuh dengan pengendalian diri orang bijaksana membuat pulau bagi dirinya
sendiri, yang tak dapat ditenggeamkan oleh banjir” (Dhp. 25)
Dalam menggunaan waktu, tanpa
adanya disiplin orang berdalih terlalu pagi lalu enggan bekerja, terlalu siang
juga tidak bekerja. Terlalu dingin atau terlalu panas, terlalu lapar atau
kenyang dan sebagainya, menjadi alasan untuk beralas-malasan. Dengan itu,
orang-orang menunda atau menghindari tugasnya yang menanti atau kesempatan yang
baikpun berlalu. Kebiasaan malas, lambat, dan tidak menghargai waktu dinyatakan
oleh Buddha sebagai salah satu faktor yang menyebabkan merosotnya kesejahteraan
dan kualitas batin (D. III, 184).
Sang Buddha menjelaskan bagaimana
cara untuk mencapai kualitas kepribadian yang baik, begitu pula hal ini juga
harus dilakukan oleh seorang penidik pendidik dan dijadikan sebai landasan yang
harus dikembangkan dalam melaksankan tugasnya sebagai seorang pendidik, yaitu:
1. Dengan
sengaja mengikuti sesuatu yang sudah dipertimbangkan dengan baik dan
menjadikannya sebagai kebiasaan.
2. Bertahan
dengan sabar dan penuh pengertian memikul apa yang harus ditanggung agar
berhasil memperoleh faedahnya.
3. Meghindar
agar tidak menjadi mangsa berbagai godaan yang menjatuhkan
4. Menekan
atau menyingkirkan pikiran yang menyesatkan. (A. IV, 354).
c)
Kerja
dengan Benar
Bekerja keras membuahkan kekayaan (A.V, 136). Produktivitas seseorang akan
mempengaruhi tingkat keberhasilannya. Meningkatakan produktivitas sendiri tidak
selalu berarti bekerja lebih berat atau lebih lama. Bekerja lebih keras dan
lebih lama tidak dengan sendirinya memberi hasil yang baik. Apabila kuantitas
saja yang menjadi perhatian tidak jarang kualitas menjadi tidak terjamin.
Begitupula seorang pendidik tidak dengan seberapa lama menjalankan profesinya
tetapi seberapa baikdan seberapa banyak peserta didik yang berhasil karenanya. Bekerja
dengan baik dan benar akan memberikan ketenangan tidak menambah ketidakpuasan ata apa saja yang menimbulkan
tekanan batin dan berbagai bentuk penderitaan lainnya, kerja yang benarberarti
memenuhi atau melaksankan Jalan Mulia Berunsur Delapan yang merupakan satu-satunya
jalan untuk mengakhiri penderitaan (Dhp.
274-275) .
d)
Memiliki
Tekad dan Kewaspadaan
Semua orang memiliki akal, jika
akal dalam keadaan sehat seyogyanya memiliki kewaspadaan dan mau berfikir
secara kritis untuk membedakan kenyataan dan khayalan. Orang boleh
berangan-angan tetapi tetap sadar jika sedang berkhayal. Memiliki angan-angan
dan menggantungkan cita-cita setinggi langit itu merupakan harapan dalam
keadaan sadar, bukan hanya sekedar bunga tidur. Seorang pendidik pasti
mempunyai akal yang sehat, dalam meningkatkan kulaitas diri atau kepribadian
(kemampuan dalam diri) perlu adanya kewaspadaan dan kesadaran untuk mencapai
keberhasilan dalam mendidik.
Sabda Buddha “barang siapa
melakukan apa yang pantas, yang teguh tekadnya, yang bekerja keras, ia akan
memperoleh kekayaan” (Sn. 187). Suatu
pekerjaan yang dilaksankan tanpa kesungguhan, peraturan yang tidak ditaati,
kehidupan suci yang tidak dijalankan sengan sepenuh hati, tidaklah akan
membuahkan hasil yang besar” (Dhp. 312).
e)
Mau
Mengintropeksi Diri Sendiri
Kita semua mengenal bahkan mengerti
akan adanya hukum karma, jika kita mengalami sesuatu diluar harapan kita
(kegagalan) yang harus kita perhatikan adalah mawas diri ataupun intropeksi
diri. Dalam proses mendidik, tatkala walaupun sudah diberikan wejangan yang
baik dan benar tetap masih ada peserta didik yang mendengarkan bahkan ada pula
yang membantah, keadaan demikian tidak sepenuhnya salah dari peserta didik.
Akan tetapi perlu dilihat di dalam diri seorang pendidik itu sendiri, meungkin
penyampaian yang terlalu keras dan menekan, atau apa yang dikatakan tidak
dilkasanakan oleh pendidik (tidak konsisten dengan ucapan). “kesalahan orang
lain mudah dilihat, kesalahan diri sendiri sukar diketahui. Seseorang dapat
menunjukkan kesalahan orang lain seperti menampi ddak, tetapi ia menyembuyikan
kesalahnya sendiri seperti seorang penjudi yang curang menyembunyikan dadu
berangka sial” (Dhp, 252). Mata yang
melihat, tetapi tidak dapat melihat dirinya sendiri. Karena itu kita memerlukan
cermi, maksudnya intropeksi diri (A. V,
92).
Tidak jarang terjadi, orang yang
bermaksud baik dan telah berbuat baik terkena kecaman karena orang lain salah
menafsirkannya. “tidak pernahlah pernah ditemukan di zaman dahulu, sekarang
atau dimasa yang akan datang, orang yang
selalu dicela dan orang yang selalu di puji” (Dhp. 227). Orang yang berjiwa besar tidak menjadi kecil hati
karenanya, mengingat mereka tidak mencari nama atau mengharapkan pujian.
Sebagai seorang pendidik mempunyai tujuan yang sangat mulia mencerdaskan semua
orang, intropeksi diri ini sangat perlu dimiliki bahkan merupakan kebutuhan
pokok. tidak semua kepribadian seorang pendidik itu disenangi oleh peserta
didiknya, disinilah fungsi dari intropeksi diri. Dengan adanya intropeksi diri
dan mampu menerapkan sikap yang demikian maka seorang pendidik mampu mengenali
dirinya sendiri dan mampu menjadi teladan bagi para peserta didik.
f)
Membuka
kedua mata
Orang yang bekerja dengan baik dan
benar akan menggunakan kedua matanya. Mata yang satu memberinya kejelian untuk
meraih sukses dan kekayaan, atau meningkatkan apa yang sudah diperolehnya. Mata
yang satunya lagi digunakan untuk mengenali kondisi baik dan buruk, apa yang
tercela dan apa yang terpuji membedakan perbuatan yang hina dan mulia,
membedakan apa yang dikatakan terang dan gelap.
Orang yang hanya jeli menemukan dan
memanfaatkan kesempatan untuk menghasilkan kekayaan tanpa menaruh kepedulian
pada aspek moral sebenarnya adalah orang yang buta sebelah mata. Sedangkan
orang yang tidak mengenali kesempatan
untuk meraih kesuksesan, juga tidak bisa membedakan baik dan buruk disamakan
dengan orang yang buta kedua matanya.
(A.I, 129).
g)
Tidak
mengabaikan hal kecil
Segala sesuatu ynag kecil atu mudah seharusnya
tidak dianggap sepele dan diabaikan. Buddha mengingatkan air yang jatuh menetes
akan membuat tempayan terisis penuh. Kita tidak boleh meremehkan kebajikan,
kejahatan atau barang sekecil apapun itu. Kebaikan dan kejahatan itu akan
membawa akibat. Sepanjang buah perbuatannya belum masak, si pelaku tidak
merasakan akibatnya. Tetapi ia akan menghadapi akibat dari perbuatan itu jika
waktunya telah tiba (Dhp. 119-122).
Tidak sedikit dari sekian banyak pendidik, mereka menyepelekan tugas yang harus
dilaksanakan tetapi disalah artikan untuk kepentingan dirinya sendiri. Sebagai
contoh, seorang pendidik yang hanya datang duduk, memberikan tugas dan dikumpul
tanpa adanya penjelasan terhadap materi yang seharusnya dibahas dengan jelas.
Pendidik yang demikian merehmehkan hal yang seharusnya dilakukan. Ketika
saatnya telah tiba dan peserta didik mengalami kegagalan dalam pendidikan yang
harus bertanggungjwab seharusnya adalah pendidiknya karena sudah mematikan
potensi peserta didik dan secara pendidik yang demikian tidak akan pernah
dihargai orang lain ataupun mendapatkn sebutan profesional.
h)
Memiliki
pemahaman diri
Walaupun seseorang kelihatannya
bekerja untuk kepentingan orang lain, seharusnya disadari bahwa sesungguhnya ia
bekerja untuk dirinya sendiri. Dengan bekerja mengembangkan potensi yang
dimilikinya ia sebenarnya sudah mengarahkan tujuan hidupnya sendiri, atau
mencipatakan masa depannya, ia adalah pelindung atau tuan daru dirinya sendiri.
Karena itu ia harus mengendalikan diri sendiri, seperti pedagang kuda menguasai
kudanya dengan baik (Dhp. 380). Seperti halnya seorang pendidik, secara kasat mata
bekerja untuk orang lain yaitu untuk mencerdaskan semua orang. Akan tetapi,
setelah diamati, sebenarnya ia bekerja untuk dirinya sendiri. Pertama, dengan
ia menyalurkan ilmu pengetahuan, keterampilan dan lain sebagainya, ia menjadi
semakin lebih mampu dan bisa; lebih mampu menerapkan dan menjadi semakin
mengerti; dan menjadi lebih bisa mengendalikan diri dan mampu mengoreksi setiap
kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan. Kedua, segala kebutuhan dapat
tercukupi dengan memilki profes sebagai seorang pendidik.
Orang yang mampu mengaktualisasi diri dan menjadi dirinya
sendiri, sehigga pantas dihormati, memiliki tujuh macam pemahaman yang
dipandang sebagai harta orang yang mulia, yaitu:
1. Memahami
Dharma atau ajaran
2. Memahami
makna dari ajaran
3. Memahami
diri sendiri dan menempatkan diri sesuai pada tempatnya
4. Memahami
kebutuhan dan takaranny, yang diperoleh dengan cara yang panntas dan benar
sebatas yang diperlukan
5. Memahami
saat yang tepat untk melakukan sesuatu ynag pantas dilakukan
6. Memahami
adanya beda golongan orang serta apa yang pantas diperbuatnya di tengah
golongan tertentu
7. Memahami
bagaimana membedakan watak orang lain, yan baik pantas dijadikan teman. (A.IV,113).
Memahami ajaran dan makna ajaran,
berarti juga memahami sebab akibat. Pemahaman diri dan pemahaman faktor-faktor
lain tersebut diatas akan meningkatkan kepercayaaan pada diri sendiri,
meyingkirkan rasa rendah diri ataupun ketidakberdayaan. Seorang pendidik tidak
akan mengalami kesulitan untuk meyesuaikan diri dan berkomunikasi dengan orang
lain, idak memasrahkan diri dihimpit oleh situasi tetapi berusaha secara
kreatif untuk mengatasi dengan mengubah diri sendiri ataupun menciptakan
situasi baru yang lebih baik.
i)
Tiada
Rasa Keakuan (Sombong dan Egois)
Segala sesuatu yang bersyarat
berkondisi adalah tanpa inti yang kekal (Dhp.
279). Apa yang disebut manusia, perpaduan dari lima agregat kehidupan tidak
memiliki substansi inti atau sang aku yang berdiri sendiri. Kesalahan dari ego
adalah menuntut keberadaan yang terpisah. Padahal selalu ada ketergantungan
pada yang lain. Mengaktualisasi diri berarti mengatasi keakuan, bukan
mempertebal keakuan. Dengan bekerja dengan orang belajar menguragi egoismenya.
Bekerja membuat hidup menjadi lebih baik
sekaligus membuat hidup mempunyai arti bagi orang lain. Alasan utama
untuk mengejar kekayaan bukan hanya untuk menyenangkan diri sendiri, tetapi
juga memelihara dan membuat keluarga dan orang disekitar berbahagia (A. III, 45).
Sebagai pendidik sifat sombong dan
egois, merupakan musuh yang harus dibasmi, karena seorang pendidik bertugas
untuk melayani. Melayani dengan ketulusan dan rendah hati adalah ciri pendidik
yang benar-benar pendidik, selalu menganggap dirinya sama dengan orang lain
walaupun sebenarnya ia mempunyai kemampuan yang lebih dibandingkan dengan orang
lain.
Daftar Pustaka:
Abu,
Drs. H Ahmadi, Drs. Widodo Supriyono. 2013. Psikologi
Belajar. Bineka Cipta: Jakarta
Krishnanda Wijaya Mukti. 2006. Wacana
Buddha Dhamma. Yayasan Dharma Pembangunan: Jakarta
Prof. Dr. H. Ramayulis. 2012. Profesi dan etika Keguruan. Kalam Mulia: Jakarta
Tim
Penyusun. 2005. Dhammapada, Sabda-sabda
Buddha Gotama. Jakarta: Dewi Kayana Abadi.
W.S. Winkel. 2004. Psikologi
Pengajaran. Media Abadi: Yogyakarta