Wikipedia

Hasil penelusuran

Kamis, 25 Juni 2015

Artikel



INTRAPERSONAL SKILL
GURU PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA

A.     Intrapersonal Skill Guru.
Pendidikan merupakan suatu proses yang bertujuan. Keberhasilan pendidikan dalam mewujudkan tujuan-tujuan diinginkan sangat kepada aktor atau pelaku pendidikan itu sendiri.  Aktor yang dimaksud adalah para guru atau pendidik, baik di lingkungan formal informal maupun nonformal. Hal ini menunjukkan bahwa pendidik mengemban tanggung jawab yang demikian besar terhadap keberhasilan proses pendidikan yang dilaksanakan atau diselenggarakan.  Oleh karena itu, seorang pendidikan di lingkumgan formal khususnya, mau tidak mau mesti memiliki sejumlah kompetensi atau kemampuan khusus yang mendukung bagi pelaksanaan profesinya sebagai guru.
Dalam praktiknya di lapangan seorang guru senantiasa berhadapan dengan dua alternatif kemungkinan. Pertama, seorang guru dikatakan “berhasil” dalam mendidik, dan kedua seorang guru dikatakan “gagal” dalam mendidik. Namun seringkal rasio antara kedua kelompok guru tersebut tidak seimbang. Guru yang “berhasil” selalu saa lebih sedikit jumlahnya dibandingkan guru yang “gagal” atau minimal belum berhasil. Ketidak berhasilan tersebut antara lain disebabkan terpenuhinya syarat-syarat menjadi guru yang profesioanal. Syarat-syarat tersebut demikian banyak dan sangat kompleks serta menuntut kemauan dan kerja keras dan pribadi guru itu sendiri.
Berdasarkan ketentuan Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, persyaratan guru yang minimal harus menguasai empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi personal (kepribadian), kompetensi profesioanl dan kompetensi sosial. Guru yang menguasai keempat kompetensi tersebut dengan baik, memberikan peluang lebih besar  terhadap keberhasilannya dalam melaksanakan tugas tanggungjawabnya sebagai seorang guru atau pendidik. Arti dari kompetensi itu sendiri adalah satu kesatuan yang utuh dan merupakan gambaran potensi, pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dinilai, yang dengan profesi tertentu berkenaan dengan bagian-bagian yang dapat di aktualisasikan dan diwujudkan dalam bentuk tindakan atau kinerja untuk menjalankan profesinya.
Pengertian Intrapersonal Skill
Intrapersonal skill dapat disamakan arinya dengan Kompetensi Kepribadian, yaitu sifat-sifat unggul seseorang, seperti ulet, tangguh, atau tabah dalam menghadapi tantangan atau kesulitan, dan cepat bangkit apabila mengalami kegagalan memiliki etos belajar dan etos kerja yang tinggi, berfikir positif terhadap orang lain, bersikap seimbang antara mengambil dan memberi dalam hubungan sosial, dan memiliki komitmen atau tanggungjawab. Sifat-sifat unggul seperti ini merupakan modal utama bagi seorang guru untuk meraih kesuksesan, terutama kesuksesan dalam mendidik.
Didalam peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pndidikan pada penjelasan Pasal 28 ayat 3 butir b dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian (Intrapersonal skill) adalah kemampuan kepribadian yang mantap, dewasa arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia.
Jadi dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian atau Intrapersonal Skill adalah kemampuan mengelola diri sendiri secara tepat dimana seseorang mampu mengelola dan mengarahkan dirinya sendiri kearah yang lebih baik. Kemampuan-kemampuan yang dimaksud tersebut berupa:
      a)  Bertindak sesuai dengan norma agama hukum, sosial, kebudayaan Indonesia dengan Indikator: (1) menghargai semua peserta didik tanpa membeda-bedakan statsnya, (2) bersikap sesuai dengan norma-norma ynag berlaku.
     b Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil dewasa arif dan berwibawa, dengan indikator: (1) pribadi yang mantap dan stabil, dan (2) pribadi yang arif dan bijaksana, bertanggungjawab dan mempunyai kewibawaan.
     c)  Menampilkan diri sebagai pribadi yang bertujuan jelas, berakhlak mulia bertakwa, menjadi teladan, dengan indikator: (1) jujur, tegas, dan manusiawi, (2) bertakwa dan berakhlak mulia, (3) menjadi sumber motivasi dan inspirasi bagi murid.
       d)    Menunjukkan etos kerja, taggungjawab yang tinggi bangga menjadi guru, ercaya diri mandiri secara profesional, dengan indikator: (1) mengutamakan kepentingan profesi dan kepentingan lain, (2) bekerja secara profesional, dan (3) bekerja niat, ikhlas dan tulus dari hati nurani atau tanpa paksaan dari pihak lain.
       e)      Mampu menjunjung tinggi, memahami, menerapkan dan berprilaku sesuai kode etik guru, dengan indikator: (1) berprilaku sesuai kode etik guru dan (2) mampu melaksanakannya dalam mendidik.
       f)       Hendaknya selalu belajar dan tidak merasa malu untuk menerima ilmu dari orang yang lebih rendah darinya, baik secara kedudukan ataupun usianya.
       g)      Memiliki rasa bangga menjadi guru dan percaya diri pada diri sendiri.


     B.      Intrapersonal Skill Guru Pendidikan Agama Buddha .
Pekerjaan guru adalah suatu profesi yang menutut pengetahuan, keterampilandan keahlian tertentu. Karena itu seorang guru harus memiliki kompetensi-kompetensi yang berfungsi untuk membantu seorang guru mencapai kesuksesasan sebagai seorang pendidik. Seorang guru harus memiliki kompetensi atau kemampuan kepribadian (intrapersonal skill) terkait dengan tanggungjawab moral dan dantanggung jawab sosial yang harus dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam proses mendidik
Untuk mengajar Sang Buddha memberi petunjuk kepada Ananda agar memenuhi lima hal yaitu: mengajar secara bertahap, mengajar dengan alasan atau berdasarkan sebab yabf mendahului sehingga dimengerti, mengajar terdorong karena cinta kasih, mengajar tidak bertujuan untuk mendapatkan keuntunan pribadi, mengajar tanpa merugikan diri sendiri maupun orang lain (A. III, 184).
Buddha mengajarkan bahwa didalam menjalankan aktivitas sehari-hari, seseorang terutama guru haruslah memiliki beberapa kemampuan untuk mengarahkan dirinya kearah masa depan yang lebih baik. Selain itu, seorang guru sebaiknya memiliki lima kualitas sebagaimana seorang Bhikkhu senior, yaitu: ia adalah seorang yang menguasai analisis logika; menguasai analisis hubungan sebab akibat; menguasai analisis tata-bahasa; menguasai analisis segalla sesuatu yang dapat dikenali; apa yang harus dilakukan oleh para pengikut (siswa), menjalankai kehidupan suci, besar atau kecil cakap atau aktif, berusaha meneliti persoalan; siap melakukan dan menmbuatnya terlaksana (A. III, 113).
Selain uraian diatas, Intrapersonal skill atau kemampuan (keterampilan) yang sebaiknya dimiliki seorang guru untuk meningkatkan kualitas diri sebagai seorang pendidik dan mampu menjadi pendidik yang berhasil adalah sebagai berikut:
a)      Memiliki Etos kerja
Etos kerja merupakan semangat kerja ynag menjadi ciri khas terkait dengan keyakinan seseorang atau sekelompok orang. Semangat itu dibentuk oleh pandangan hidup untuk mencapai kesempurnaan. Etos kerja dalam agama Buddha adalah peyempurnaan diri dengan karma secara produktif dan membuang egoisme. Setiap makhluk bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri. Perbuatan yang menentukkan bagaimana nasibnya, kemudian kelahiran dikemudian hari (A.V, 288).
Ketika melakukan pekerjaan apapun, selain keyakinan, diperlukan adanya usaha yang penuh semangat, kesadaran dalam arti perhatian yang penuh, konsentrasi atau samadhi dan kebijaksanaan (A. II, 10) .

b)     Disiplin
Pendidikan mencakup proses pendisiplinan. Disiplin tersebut tambak dari ketaatan pada suatu sistem nilai yang terkait dengan hak dan kewajiban. Seperti yang di jelaskan oleh Sang Buddha dalam Sigalavada Sutta, bahwa antara pendidik dan peserta didik memiliki hak dan kewaijiban yang harus di laksanakan dalam proses pendidikan. Untuk memelihara hak dan kewajiban dituntut adanya disiplin moral (D. I, 181).
Sebagai seorang pendidik, disiplin moral harus ditanamkan dalam diri. Segala tindakan yang dilakukan oleh seorang pendidik sangat berpengaruh terhadap perkembangan kualitas peserta didik atau keberhasilan dalam mendidik. Peraturan dan sistem nilai yang sudah menjadi patokan atau pedoman harus dilaksanakan dengan ketulusan dari hati, tidak hanya semata-mata hanya karena sebuah tuntutan profesi, tetapi digunakan sebagai pedoman untuk meningkatkan kualitas kepribadian. Orang bijkasana adalah orang yang disiplin dan teguh dalam kaidah atau peraturan,  dan  melakukan kebaikan atau jasa hanya semata-mata demi kebaikan dengan menyadari bahwa hal tersebut adalah suatu kebenaran tanpa memperdulikan apa yang akan mempersulit dirinya sendiri atau bagaiman sikap orang lain (A. I, 147).
Disiplin dapat menolong seseorang untuk mengembnagkan diri secara optimal dan meraih prestasi intelektual, seni, olah raga, dan lain-lain. “dengan usaha yang tekun, disiplin, semanagat dan penuh dengan pengendalian diri orang bijaksana membuat pulau bagi dirinya sendiri, yang tak dapat ditenggeamkan oleh banjir” (Dhp. 25)
Dalam menggunaan waktu, tanpa adanya disiplin orang berdalih terlalu pagi lalu enggan bekerja, terlalu siang juga tidak bekerja. Terlalu dingin atau terlalu panas, terlalu lapar atau kenyang dan sebagainya, menjadi alasan untuk beralas-malasan. Dengan itu, orang-orang menunda atau menghindari tugasnya yang menanti atau kesempatan yang baikpun berlalu. Kebiasaan malas, lambat, dan tidak menghargai waktu dinyatakan oleh Buddha sebagai salah satu faktor yang menyebabkan merosotnya kesejahteraan dan kualitas batin (D. III, 184).
Sang Buddha menjelaskan bagaimana cara untuk mencapai kualitas kepribadian yang baik, begitu pula hal ini juga harus dilakukan oleh seorang penidik pendidik dan dijadikan sebai landasan yang harus dikembangkan dalam melaksankan tugasnya sebagai seorang pendidik, yaitu:
1.      Dengan sengaja mengikuti sesuatu yang sudah dipertimbangkan dengan baik dan menjadikannya sebagai kebiasaan.
2.      Bertahan dengan sabar dan penuh pengertian memikul apa yang harus ditanggung agar berhasil memperoleh faedahnya.
3.      Meghindar agar tidak menjadi mangsa berbagai godaan yang menjatuhkan
4.      Menekan atau menyingkirkan pikiran yang menyesatkan.  (A. IV, 354).

c)      Kerja dengan Benar
Bekerja keras membuahkan kekayaan (A.V, 136). Produktivitas seseorang akan mempengaruhi tingkat keberhasilannya. Meningkatakan produktivitas sendiri tidak selalu berarti bekerja lebih berat atau lebih lama. Bekerja lebih keras dan lebih lama tidak dengan sendirinya memberi hasil yang baik. Apabila kuantitas saja yang menjadi perhatian tidak jarang kualitas menjadi tidak terjamin. Begitupula seorang pendidik tidak dengan seberapa lama menjalankan profesinya tetapi seberapa baikdan seberapa banyak peserta didik yang berhasil karenanya. Bekerja dengan baik dan benar akan memberikan ketenangan tidak menambah  ketidakpuasan ata apa saja yang menimbulkan tekanan batin dan berbagai bentuk penderitaan lainnya, kerja yang benarberarti memenuhi atau melaksankan Jalan Mulia Berunsur Delapan yang merupakan satu-satunya jalan untuk mengakhiri penderitaan (Dhp. 274-275) .

d)     Memiliki Tekad dan Kewaspadaan
Semua orang memiliki akal, jika akal dalam keadaan sehat seyogyanya memiliki kewaspadaan dan mau berfikir secara kritis untuk membedakan kenyataan dan khayalan. Orang boleh berangan-angan tetapi tetap sadar jika sedang berkhayal. Memiliki angan-angan dan menggantungkan cita-cita setinggi langit itu merupakan harapan dalam keadaan sadar, bukan hanya sekedar bunga tidur. Seorang pendidik pasti mempunyai akal yang sehat, dalam meningkatkan kulaitas diri atau kepribadian (kemampuan dalam diri) perlu adanya kewaspadaan dan kesadaran untuk mencapai keberhasilan dalam mendidik.
Sabda Buddha “barang siapa melakukan apa yang pantas, yang teguh tekadnya, yang bekerja keras, ia akan memperoleh kekayaan” (Sn. 187). Suatu pekerjaan yang dilaksankan tanpa kesungguhan, peraturan yang tidak ditaati, kehidupan suci yang tidak dijalankan sengan sepenuh hati, tidaklah akan membuahkan hasil yang besar” (Dhp. 312).

e)      Mau Mengintropeksi Diri Sendiri
Kita semua mengenal bahkan mengerti akan adanya hukum karma, jika kita mengalami sesuatu diluar harapan kita (kegagalan) yang harus kita perhatikan adalah mawas diri ataupun intropeksi diri. Dalam proses mendidik, tatkala walaupun sudah diberikan wejangan yang baik dan benar tetap masih ada peserta didik yang mendengarkan bahkan ada pula yang membantah, keadaan demikian tidak sepenuhnya salah dari peserta didik. Akan tetapi perlu dilihat di dalam diri seorang pendidik itu sendiri, meungkin penyampaian yang terlalu keras dan menekan, atau apa yang dikatakan tidak dilkasanakan oleh pendidik (tidak konsisten dengan ucapan). “kesalahan orang lain mudah dilihat, kesalahan diri sendiri sukar diketahui. Seseorang dapat menunjukkan kesalahan orang lain seperti menampi ddak, tetapi ia menyembuyikan kesalahnya sendiri seperti seorang penjudi yang curang menyembunyikan dadu berangka sial” (Dhp, 252). Mata yang melihat, tetapi tidak dapat melihat dirinya sendiri. Karena itu kita memerlukan cermi, maksudnya intropeksi diri (A. V, 92).
Tidak jarang terjadi, orang yang bermaksud baik dan telah berbuat baik terkena kecaman karena orang lain salah menafsirkannya. “tidak pernahlah pernah ditemukan di zaman dahulu, sekarang atau dimasa yang  akan datang, orang yang selalu dicela dan orang yang selalu di puji” (Dhp. 227). Orang yang berjiwa besar tidak menjadi kecil hati karenanya, mengingat mereka tidak mencari nama atau mengharapkan pujian. Sebagai seorang pendidik mempunyai tujuan yang sangat mulia mencerdaskan semua orang, intropeksi diri ini sangat perlu dimiliki bahkan merupakan kebutuhan pokok. tidak semua kepribadian seorang pendidik itu disenangi oleh peserta didiknya, disinilah fungsi dari intropeksi diri. Dengan adanya intropeksi diri dan mampu menerapkan sikap yang demikian maka seorang pendidik mampu mengenali dirinya sendiri dan mampu menjadi teladan bagi para peserta didik.
f)       Membuka kedua mata
Orang yang bekerja dengan baik dan benar akan menggunakan kedua matanya. Mata yang satu memberinya kejelian untuk meraih sukses dan kekayaan, atau meningkatkan apa yang sudah diperolehnya. Mata yang satunya lagi digunakan untuk mengenali kondisi baik dan buruk, apa yang tercela dan apa yang terpuji membedakan perbuatan yang hina dan mulia, membedakan apa yang dikatakan terang dan gelap.
Orang yang hanya jeli menemukan dan memanfaatkan kesempatan untuk menghasilkan kekayaan tanpa menaruh kepedulian pada aspek moral sebenarnya adalah orang yang buta sebelah mata. Sedangkan orang yang tidak mengenali  kesempatan untuk meraih kesuksesan, juga tidak bisa membedakan baik dan buruk disamakan dengan orang yang buta kedua matanya. (A.I, 129).

g)      Tidak mengabaikan hal kecil
 Segala sesuatu ynag kecil atu mudah seharusnya tidak dianggap sepele dan diabaikan. Buddha mengingatkan air yang jatuh menetes akan membuat tempayan terisis penuh. Kita tidak boleh meremehkan kebajikan, kejahatan atau barang sekecil apapun itu. Kebaikan dan kejahatan itu akan membawa akibat. Sepanjang buah perbuatannya belum masak, si pelaku tidak merasakan akibatnya. Tetapi ia akan menghadapi akibat dari perbuatan itu jika waktunya telah tiba (Dhp. 119-122). Tidak sedikit dari sekian banyak pendidik, mereka menyepelekan tugas yang harus dilaksanakan tetapi disalah artikan untuk kepentingan dirinya sendiri. Sebagai contoh, seorang pendidik yang hanya datang duduk, memberikan tugas dan dikumpul tanpa adanya penjelasan terhadap materi yang seharusnya dibahas dengan jelas. Pendidik yang demikian merehmehkan hal yang seharusnya dilakukan. Ketika saatnya telah tiba dan peserta didik mengalami kegagalan dalam pendidikan yang harus bertanggungjwab seharusnya adalah pendidiknya karena sudah mematikan potensi peserta didik dan secara pendidik yang demikian tidak akan pernah dihargai orang lain ataupun mendapatkn sebutan profesional.

h)     Memiliki pemahaman diri
Walaupun seseorang kelihatannya bekerja untuk kepentingan orang lain, seharusnya disadari bahwa sesungguhnya ia bekerja untuk dirinya sendiri. Dengan bekerja mengembangkan potensi yang dimilikinya ia sebenarnya sudah mengarahkan tujuan hidupnya sendiri, atau mencipatakan masa depannya, ia adalah pelindung atau tuan daru dirinya sendiri. Karena itu ia harus mengendalikan diri sendiri, seperti pedagang kuda menguasai kudanya dengan baik  (Dhp. 380). Seperti halnya seorang pendidik, secara kasat mata bekerja untuk orang lain yaitu untuk mencerdaskan semua orang. Akan tetapi, setelah diamati, sebenarnya ia bekerja untuk dirinya sendiri. Pertama, dengan ia menyalurkan ilmu pengetahuan, keterampilan dan lain sebagainya, ia menjadi semakin lebih mampu dan bisa; lebih mampu menerapkan dan menjadi semakin mengerti; dan menjadi lebih bisa mengendalikan diri dan mampu mengoreksi setiap kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan. Kedua, segala kebutuhan dapat tercukupi dengan memilki profes sebagai seorang pendidik.
Orang yang mampu  mengaktualisasi diri dan menjadi dirinya sendiri, sehigga pantas dihormati, memiliki tujuh macam pemahaman yang dipandang sebagai harta orang yang mulia, yaitu:
1.      Memahami Dharma atau ajaran
2.      Memahami makna dari ajaran
3.      Memahami diri sendiri dan menempatkan diri sesuai pada tempatnya
4.      Memahami kebutuhan dan takaranny, yang diperoleh dengan cara yang panntas dan benar sebatas yang diperlukan
5.      Memahami saat yang tepat untk melakukan sesuatu ynag pantas dilakukan
6.      Memahami adanya beda golongan orang serta apa yang pantas diperbuatnya di tengah golongan tertentu
7.      Memahami bagaimana membedakan watak orang lain, yan baik pantas dijadikan teman. (A.IV,113).

Memahami ajaran dan makna ajaran, berarti juga memahami sebab akibat. Pemahaman diri dan pemahaman faktor-faktor lain tersebut diatas akan meningkatkan kepercayaaan pada diri sendiri, meyingkirkan rasa rendah diri ataupun ketidakberdayaan. Seorang pendidik tidak akan mengalami kesulitan untuk meyesuaikan diri dan berkomunikasi dengan orang lain, idak memasrahkan diri dihimpit oleh situasi tetapi berusaha secara kreatif untuk mengatasi dengan mengubah diri sendiri ataupun menciptakan situasi baru yang lebih baik.

i)        Tiada Rasa Keakuan (Sombong dan Egois)
Segala sesuatu yang bersyarat berkondisi adalah tanpa inti yang kekal (Dhp. 279). Apa yang disebut manusia, perpaduan dari lima agregat kehidupan tidak memiliki substansi inti atau sang aku yang berdiri sendiri. Kesalahan dari ego adalah menuntut keberadaan yang terpisah. Padahal selalu ada ketergantungan pada yang lain. Mengaktualisasi diri berarti mengatasi keakuan, bukan mempertebal keakuan. Dengan bekerja dengan orang belajar menguragi egoismenya. Bekerja membuat hidup menjadi lebih baik  sekaligus membuat hidup mempunyai arti bagi orang lain. Alasan utama untuk mengejar kekayaan bukan hanya untuk menyenangkan diri sendiri, tetapi juga memelihara dan membuat keluarga dan orang disekitar berbahagia (A. III, 45).
Sebagai pendidik sifat sombong dan egois, merupakan musuh yang harus dibasmi, karena seorang pendidik bertugas untuk melayani. Melayani dengan ketulusan dan rendah hati adalah ciri pendidik yang benar-benar pendidik, selalu menganggap dirinya sama dengan orang lain walaupun sebenarnya ia mempunyai kemampuan yang lebih dibandingkan dengan orang lain.

Daftar Pustaka:
Abu, Drs. H Ahmadi, Drs. Widodo Supriyono. 2013. Psikologi Belajar. Bineka Cipta: Jakarta
Krishnanda Wijaya Mukti. 2006. Wacana Buddha Dhamma. Yayasan Dharma Pembangunan: Jakarta
Prof. Dr. H. Ramayulis. 2012. Profesi dan etika Keguruan. Kalam Mulia: Jakarta
Tim Penyusun. 2005. Dhammapada, Sabda-sabda Buddha Gotama. Jakarta: Dewi Kayana Abadi.
W.S. Winkel. 2004. Psikologi Pengajaran. Media Abadi: Yogyakarta

1 komentar: